Yogyakarta menjadi ibukota darurat RI selama kurang lebih 2 tahun lamanya. Oleh karena itu HUT RI 1 diperingati di Yogyakarta. Mungkin tak banyak orang yang memikirkan hal tersebut namun Yogyakarta memang merupakan kota hijrah, kota perjuangan dan kota yang penuh kenangan pada masa-masa awal kemerdekaan RI. Selama lebih dari 2 tahun, para pemimpin mengatur jalannya pemerintahan RI yang masih sangat muda di Yogyakarta. Dan pemerintahan di Jakarta diambil alih oleh Letnan Kolonel Daan Jahja yang juga merangkap sebagai Gubernur Militer Kota Jakarta.
Negara RI yang masih begitu muda tentu saja belum kuat secara perekonomian, maka untuk menunjang agar roda pemerintahan dapat terus berjalan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan penuh keikhlasan membantu biaya sebesar 6 juta Gulden. Jumlah yang sungguh besar pada masa itu dan betapa besar andil dan cinta Sri Sultan Hamengkubuwono pada RI.
Namun terdapat kendala dalam hal luas wilayah karena Yogyakarta tidak seluas Jakarta sehingga gedung-gedung yang digunakan untuk pemerintahan tidak hanya terdapat di Yogyakarta saja namun terpencar hingga ke Solo dan Magelang. Saat itu gedung yang digunakan sebagai pusat pemeritahan adalah Hotel Merdeka yang saat ini adalah Hotel Inna Garuda. Lalu Gedung Agung difungsikan sebagai kepresidenan atau tempat bagi kepala negara, dan sebuah rumah di belakang Gereja Kotabaru digunakan sebagai Gedung Departemen Sosial.
Gedung Agung yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan saat itu tidak memiliki perabotan yang memadai, maka seluruh fasiltas yang dibutuhkan dilengkapi oleh Keraton Yogyakarta serta Puro Pakualaman. Selain itu Keraton dan Puro Pakualaman juga menyediakan tempat penginapan kepada seluruh pejabat tinggi yang ikut hijrah ke Yogyakarta. Mereka tinggal di lingkungan Keraton, Puro Pakualaman, dan sebagian ada pula yang tinggal di rumah-rumah penduduk. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Yogyakarta juga memiliki peran besar pada masa darurat tersebut. Pendek kata bahwa selama ibukota darurat RI berada di Yogyakata, laju pemerintahan dapat dikendalikan secara aman.
Timbul pertanyaan yang hingga kini belum terjawab mengenai Yogyakarta dan karisma rajanya, Sri Sultan Hamengkubowo IX. Meski pasukan Belanda pernah masuk ke wilayah Yogyakarta dan beberapa kali mengganggu ketentraman Keraton, namun belum pernah sama sekali mengambil alih kekuasaan pada saat Keraton di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubowo IX. Bahkan Belanda terlihat sangat gentar dan begitu menghormati Raja Yogyakarta yang satu ini. Hal ini terbukti saat masuk masuk area Keraton, mereka selalu bersikap sopan dan memohon izin pada rajanya. Tidak seperti yang mereka lakukan saat melakukan penggeledahan di daerah atau tempat lainnya.
Demikian mengenai cerita sejarah perpindahan ibukota RI ke Yogyakarta. Semoga cerita luar biasa mengenai pemimpin di masa lalu serta perjuangan mereka tidak hanya menjadi cerita yang cukup dikenang saja namun semoga dapat mengilhami generasi muda di masa sekarang untuk Indonesia yang lebih maju.
Sumber:
- Ulasan dari Prof Soetaryo, Ketua Pusat Studi Pancasila UGM dan jg anggota senat UGM, dilansir daringgota senat UGM, dilansir dartl. ja Kotabaru diguynakan empat bagi kepala newgaral yakarta saja namun terpencar hingga ke Solo m.republika.co.id, 4 Januari 2011, tentang Ibukota NKRI pindah ke Yogyakarta
- Ulasan Hermanu (kurator Bentara Budaya Yogyakarta) di m.liputan6.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H