Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Sri Sultan langsung mengutus kurir ke Jakarta yang membawa sebuah surat ucapan selamat pada Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Betapa bahagia perasaaan Presiden dan Wakil Presiden saat itu menerima perhatian dari Raja negara tetangga. Selanjutnya berita mengenai kemerdekaan Indonesia juga serta-merta disiarkan melalui Masjid Gede Kauman sesaat setelah Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur Nomer 56. Jadi Yogyakarta merupakan daerah yang pertama menyiarkan kemerdekaan RI. Kemudian terdapat momentum istimewa pada tanggal 5 September 1945, saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX beserta wakilnya yakni Sri Pakualam VIII menyatakan diri bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu saja Presiden Soekarno sangat gembira bahkan merasa tersanjung dengan kesediaan Raja Yogyakarta untuk menggabungkan diri. Maka bukan hanya sekedar mendukung RI, kini Raja yang sungguh luar biasa tesebut juga telah menjadi bagian dari RI.
Berbagai pertimbangan itulah yang membuat hati Presiden Soekarno begitu mantap dan langsung menyetujui usulan Sri Sultan Hamengkubowo IX untuk memindahkan ibukota RI ke Yogyakarta di saat Jakarta dalam situasi darurat.
"Kita akan memindahkan ibukota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak," demikian kata Soekarno sebagaimana yang ditulis oleh Cindy Adams dalam buku Biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Maka diaturlah strategi yang bisa disebut "gila" saat keberangkatan Presiden dan Wakil Presiden menuju Yogyakarta. Keberangkatan tersebut harus dilakukan secara diam-diam, lolos dari endusan Belanda karena jika sampai ketahuan maka Presiden dan seluruh pejabar RI akan dibunuh dan bagaimana nasib RI setelah itu? Itulah bukti betapa pengorbanan para pejuang terdahulu yang begitu mati-matian mempertahankan kedaulatan RI agar tak jatuh ke tangan negara lain.
Dan pada tengah malam yang dingin itu, tepatnya pada tanggal 3 Januari 1946, Presiden dan Wakil Presiden dijemput menggunakan kereta api tanpa lampu. Lampu kereta api sengaja dipadamkan untuk menghindari kecurigaan pasukan Belanda yang selalu hilir-mudik melakukan patroli. Kereta yang hanya berupa gerbong yang ditarik dengan lokomotif uap C.2809 buatan Henschel (Jerman) tersebut berhenti persis di belakang rumah Presiden Soekarno yang terletak di pinggir rel kereta api di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, dan Belanda mengira bahwa kereta tersebut adalah kereta biasa yang lewat dan akan kembali ke stasiun.
Selanjutnya secara diam-diam Presiden dan Wakil Presiden melangkah pelan menaikinya. Itulah detik-detik yang begitu menegangkan, antara hidup dan mati, dan bagaimana nasib NKRI ditentukan pada malam itu. Ketegangan dan perasaan Presiden Soekarno kala itu tertuang dalam ucapannya.
"Dengan diam-diam, tanpa bernafas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong," demikian perkataan Presiden Soekarno.
"Seandainya kami ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan satu granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi republik dilahirkan dengan resiko. Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian," lanjut Soekarno.
Maka berangkatlah Presiden Soekarno beserta rombongannya menuju Yogyakarta. Seluruh penumpang merasa sangat was-was dan diliputi ketegangan selama perjalanan, namun Tuhan YME memberikan kekuatan maha besar sehingga mereka akhirnya berhasil tiba di Yogyakarta dengan selamat. Kereta api yang berangkat pada malam itu mengambil jalur-jalur yang dianggap aman dari pengawasan Belanda. Dari Pegangsaan Timur -- Manggarai -- Jatinegara -- Bekasi -- Cikampek -- Cirebon -- Purwokerto -- Kroya -- Yogyakarta.
Saat tiba di Stasiun Tugu pada esok harinya, rombongan Presiden Soekarno djemput secara langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Pakualam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman, serta para pejabat tinggi negara yang telah tiba terlebih dahulu di Yogyakarta. Tak ketinggalan masyarakat Yogkarta pun begitu antusias menyambut dan mengelu-elukan pemimpinnya. Selanjutnya Presiden beserta rombongan beserta segenap pejabat lainnya bearak-arakan menuju Gedung Agung melewati Jalan Malioboro. Momen penting pada tanggal 4 Januari 1946 tersebut kini selalu diperingati di Universitas Gajah Mada sebagai tanggal bersejarah kepindahan ibukota RI ke Yogyakarta.
Sebuah keunggulan dirasakan saat memulai tampuk pemerintahan RI yang baru di Yogyakarta karena situasi keamanan yang lebih kondusif dibandingkan beberapa daerah lainnya, juga roda pemerintahan yang telah berjalan sebelumnya dibawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubowo IX dan Sri Pakualam VIII.