Mohon tunggu...
diana marsono
diana marsono Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

nama : diana marsono nim : 42321010027 dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si. AK Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teodosi dan Kejahatan

19 November 2022   17:36 Diperbarui: 19 November 2022   17:41 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Diana Marsono
NIM : 42321010027
Dosen Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Universitas Mercubuana

Leibniz memperkenalkan sebutan" teodisi" pada tahun 1710 Masehi lewat bukunya dengan judul yang sama. Tujuan dia menulis novel serta membagikan konsep menimpa teodisi yakni guna pembelaan atas kemahakuasaan serta kemahabaikan Allah melebihi penderitaan. 

Dia membagikan konsep yang jelas dengan membaginya jadi 2 bagian, ialah menimpa Allah serta manusia. Leibniz membagi kodrat Allah jadi 3 bagian, ialah rasional, kehendak serta mahakuasa. Kodrat rasional berkaitan dengan watak kebijaksanaan dari Allah. Kodrat kehendak berhubungan dengan tujuan Allah terhadap tiap tindakan- Nya cuma guna kebaikan.

Sebaliknya kodrat mahakuasa berhubungan dengan keahlian Allah guna memguna suatu jadi terdapat. Kodrat Allah ini setelah itu oleh Leibniz digunakan sesuatu rekonsiliasi dengan kehendak leluasa dari manusia yang kerap menuju kepada keburukan. 

Dari perihal ini, kodrat kehendak Allah timbul dengan 2 jenis, ialah kehendak anteseden serta kehendak konsekuen. Kehendak anteseden berkaitan dengan kehendak Allah guna membagikan kebaikan kepada manusia. Sebaliknya kehendak konsekuen berkaitan dengan konsekuensi yang dirasakan oleh manusia dalam wujud penderitaan sebagai akibat dari kesalahan yang diperguna oleh manusia.

Definisi Teodesi

Teodisi merupakan pemikiran filosofis guna menanggapi alibi dari Tuhan yang Mahabaik mengizinkan terdapatnya kejahatan di dunia, sehingga sanggup menuntaskan isu dari permasalahan kejahatan. Sebagian ilmu teodisi pula mangulas permasalahan pembuktian kejahatan dengan berupaya guna" menyelaraskan keberadaan Tuhan yang Mahapengampun, Mahakuasa, serta Mahatahu dengan keberadaan kejahatan ataupun penderitaan di dunia". 

Sebutan ini dicetuskan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman Gottfried Leibniz dalam karyanya yang bertajuk Thodice, meski lebih dahulu bermacam pemecahan guna permasalahan kejahatan sudah diajukan. Filsuf Britania John Hick melaporkan kalau ada 3 tradisi utama dalam teodisi: teodisi Plotinus, teodisi Agustinus, serta teodisi Ireneus. Filsuf lain melaporkan kalau teodisi merupakan disiplin modern sebab Tuhan dalam keyakinan dunia kuno umumnya tidak sempurna.

Kata" teodisi" berasal dari bahasa Yunani ialah theos serta dike yang tiap- tiap berarti Tuhan serta keadilan. Sebutan ini dikaiatkan dengan watak Tuhan yang penuh kebajikan, kemahatahuan serta kemahakuasaan terhadap seluruh makhluk ciptaan- Nya. Kata" teodisi" pula digunakan oleh para teolog guna membagikan pembenaran terhadap seluruh sikap Tuhan atas makhluk ciptaan- Nya.[1]

Sebutan" teodisi" awal kali diperkenalkan oleh filsuf asal Jerman yang bernama Gottfried Leibniz. Dia memperkenalkannya di dalam bukunya yang bertajuk Essais sur la Thodice Bonte de Dieu, la Libert de l' homme et l' origine du mal ataupun diterjemahkan jadi Teodisi: Esai tentang Kebaikan Tuhan, Kebebasan Manusia serta Keaslian Watak Setan. 

Dalam karya ini, diberikan uraian kalau kebaikan Tuhan tidak berlawanan dengan realitas terdapatnya bermacam- macam tipe kejahatan di dunia. Kejahatan senantiasa terdapat, namun dunia masih jadi tempat yang layak guna ditempati sebab terdapatnya keelokan serta kesenangan.

Teodisi sebagai pemikiran filosofis yang bersinggungan dengan konsep kejahatan, semacam dikatakan Huston Smith, semacam batu karang18. Keadilan Tuhan ialah problem filosofis yang sangat fundamental sehingga tiap sistem yang rasional pada kesimpulannya hendak terbentur dengan resistensi problem epistemologis. 

Namun, perihal itu bukan berarti kalau uraian terhadap problem kehidupan tidak bisa dipahami, sebab permasalahan ini sesungguhnya cuma perkara metode pandang. Ibarat anak kecil yang menjatuhkan mainannya ke sungai, seolah peristiwa itu ialah akhir dunia menurutnya. Tetapi, tidak demikian halnya dengan uraian si bapak/ ibunya.

Cerminan seragam pula terjalin pada diri seseorang agamawan, filsuf, ilmuwan serta orang yang tidak beragama sekalipun kala memandang pengalaman serta nilai- nilai pada dataran religius eksis tensial. Seseorang ateis hendak berkata kalau kejahatan tercantum perkara yang berlawanan dengan keadilan Tuhan. 

Sebaliknya kalangan politeis, sebagaimana kalangan dualis, hendak berkomentar kalau bila terdapat kejahatan serta kebaikan hingga mereka meniscayakan terdapatnya 2 sumber bentuk/ Tuhan. Maksudnya, tiap kejahatan serta kebaikan, tiap- tiap hendak berhubungan dengan sumber ataupun pencipta yang berbeda. 

Namun, dalam dunia monoteis, walaupun dualitas itu masih terdapat, kebaikan senantiasa sebagai entitas tunggal. Kebalikannya, dalam pemahaman mistik, kejahatan sirna sama sekali serta yang tinggal cuma kebaikan, ialah Tuhan.

Sebab itu, saat sebelum mangulas lebih jauh tentang perkara teodisi butuh mengurai hakikat kejahatan. Apakah kejahatan merupa kan perkara eksistensial serta realistis ataukah perkara non eksistensial serta relatif?

Walaupun jawabannya bermacam- macam, tetapi untuk kalangan ateis, politeis serta dualis, jawabnya sama kalau kejahatan mempunyai esensi, apalagi tercantum sifat- sifat kurang baik ataupun jahat; semacam pembohong, bakhil, khianat serta sebagainya ialah sifat- sifat riil pada manusia, serta watak tersebut sekalian ialah esensinya.

Kalangan ateis meman dang kalau nilai ialah salah satu aspek dari pengalaman sehingga kejahatan sebagai sesuatu nilai wajib pula digali dari penga halaman. Dengan kata lain, nilai kejahatan tidak hendak sempat terdapat bila dia tidak termanifestasikan secara eksistensial di lapangan.

Bila bentuk Tuhan ialah bentuk yang tentu, hingga kemahabaikan serta kemahaadilan- Nya ialah watak yang tentu pula. Kebalikannya, seluruh yang terdapat tidak hanya Tuhan dari segi esensinya merupakan mumkin al- wujud, bisa jadi dapat terdapat serta bisa jadi tidak. Maksudnya, kebaikan serta kejahatan yang terdapat di dunia ialah suatu yang bisa jadi. 

Mereka jadi terdapat sebab mendapatkan limpahan bentuk dari harus al- wujud, namun sebab Tuhan itu Maha Baik, Maha Adil serta Maha Sempurna dan mustahil bertabiat sebalik nya, hingga seluruh yang melimpah dari- Nya pada esensinya merupakan kebaikan.  Dengan demikian, kejahatan yang terdapat di dunia merupakan non- eksistensial serta relatif sebab secara fundamental esensinya merupakan kebaikan.

Teodesi dan Kejahatan

Hegel memguna statment tentang teodisi ini dengan pemahaman penuh tentang sejarah serta kesusahan konsep( ia secara eksplisit merujuk teodisi Leibniz, sebagai contoh). Tetapi ia senantiasa memakai sebutan teodisi, serta dalam mendefinisikan filosofi sejarahnya sebagai semacam teodisi. Sebabnya rumit, serta berkaitan dengan ikatan antara pemikiran religius Hegel serta teori politiknya( 2 sisi dari mata duit yang sama, seolah- olah).

Guna tulisan ini,hendak menempatkan ikatan antara 2 tema Hegel ini dalam pernyataannya kalau penyelidikan filosofis cuma bertujuan guna melenyapkan kontingen, ataupun" kebutuhan eksternal". Penghapusan kebutuhan eksternal dalam sejarah memerlukan Hegel guna menunjukkan mempunyai dorongan internal, yang tumbuh di dekat" akhir" yang seluruh bagiannya berhubungan secara rasional. 

Secara religius, itu berarti Tuhan mempunyai ikatan yang imanen dengan dunia, serta berperan dari dalamnya guna menggapai tujuan- tujuan ilahi. Kedua ilham ini, ialah kebutuhan rasional sejarah, serta kebutuhan imanen dari yang ilahi, bersatu dalam ilham teistik Providence, yang ialah inti dari tiap upaya teodisi, tercantum Hegel.

Pada pemikiran awal, Hegel mengambil alih banyak pemikiran" tradisional" dari Tuhan, semacam keberadaan tangan yang tidak nampak, seolah- olah, membimbing peristiwa. Tetapi foto ini menipu. Salah satu perihal yang memguna energi tarik Hegel ke Takdir unik merupakan keinginannya guna melihatnya sebagai butuh serta rasional- absen merupakan perasaan apa juga kalau Takdir merupakan suatu yang cuma bisa diakses oleh iman. 

Memanglah, uraian Hegel tentang Takdir merupakan upaya sungguh- sungguh guna mendefinisikannya jauh dari iman; posisi Hegel relatif terhadap posisi Kant:" Sebab Kant[Providence] memanglah ialah objek dari kepercayaan rasional.

Tetapi metode Hegel guna setia kepada Kant merupakan perjuangan seumur hidup guna melenyapkan kebutuhan hendak kepercayaan yang diklaim Kant sudah berikan ruang." Guna bagiannya, Hegel berkata" Kita tidak bisa puas dengan kepercayaan yang remeh pada Tuhan, ataupun apalagi dengan kepercayaan yang abstrak serta tidak tentu yang secara universal menguasai pemeliharaan yang berkuasa namun menolak guna menerapkannya guna memastikan kenyataan; kebalikannya, kita wajib menanggulangi permasalahan ini dengan sungguh- sungguh.

Hegel menganjurkan guna menanggulangi permasalahan ini, permasalahan menggapai pengetahuan nyata tentang pemeliharaan Tuhan, dengan memandang sejarah sebagai perwujudan konkret dari pekerjaan Tuhan di dunia. 

Guna hingga pada pengetahuan tentang pergerakan sejarah merupakan guna menguasai rencana Tuhan- dan pengetahuan semacam itu tidak cuma bisa jadi untuk umat manusia, namun bagi Hegel sesungguhnya diperintahkan oleh kitab suci serta dituntut oleh ide.

Hegel menyadari orang- orang di masanya sendiri yang menuduhnya membesar- besarkan epistemik tentang yang ilahi; walaupun demikian ia dengan tegas menentang mereka yang menganut" doktrin, yang saat ini membeku jadi prasangka, kalau tidak bisa jadi memahami Tuhan, terlepas dari ajaran kitab suci kalau merupakan tugas paling tinggi kita tidak cuma guna menyayangi Tuhan, namun guna memahami Tuhan.

Jadi apa ikatan seluruh ini dengan kejahatan serta teologi? Hegel mengklaim itu banyak hubungannya dengan keduanya. Hegel membukukan filosofi sejarahnya dengan klaim kalau itu berperan sebagai teodisi, suatu pemikiran mundur atas" meja pembantaian sejarah" yang membenarkannya diucap sebagai karya Tuhan.

Ia menulis," Upaya intelektual kami bertujuan guna menampilkan kepercayaan kalau apa yang dimaksudkan oleh kebijaksanaan abadi, sesungguhnya dicapai dalam domain Jiwa yang terdapat, aktif, dan di Alam belaka."

Atensi terhadap kejahatan dalam sejarah, serta dengan mendefinisikan kejahatan itu sendiri, tidaklah permasalahan yang melalui untuk Hegel, ia pula tidak dengan bahagia hati melewati darah serta rasa sakit sejarah dalam kesibukannya guna melihat Roh tiba ke dalam dirinya sendiri di dunia. 

Hegel tidaklah Augustinian di mari; kejahatan tidaklah pengurangan kebaikan, itu merupakan fenomena yang sangat nyata yang memanifestasikan dirinya dengan metode yang sama menurutnya semacam yang terjalin pada kita dikala ini: dalam bencana alam, dalam peperangan yang tidak masuk ide, dalam penyakit, serta dalam kekerasan acak. 

Kejahatan untuk Hegel merupakan peristiwa historis yang nyata, sebab ia mengatakan kalau" dalam sejarah dunia kita mengalami jumlah total kejahatan konkret."

Ia memusatkan atensi pada dirinya sendiri bukan dengan definisi metafisik tentang kejahatan, namun dengan hal- hal yang diidentifikasi orang sebagai kejahatan dalam kehidupan tiap hari mereka. 

Pada dikala yang sama, ia yakin kontinjensi ini( sebab susah guna membayangkan kejahatan manusia sebagai apa juga tidak hanya kontingensi radikal dalam seluruh aspek kehidupan) dicatat dalam apa yang ia sebut" kedaulatan nalar mutlak fakta kerugian sejarah ditebus dalam sejarah, serta lewat sejarah.

Menarangkan kejahatan dengan metode semacam itu, pasti saja, ialah bidang tradisional teodisi. Secara filosofis, theodicies umumnya berdiri di ujung akhir, umumnya dalam mengalami bencana ataupun peristiwa berarti, serta timbul sebab pemikiran teistik tradisional tentang Tuhan yang dibahas lebih dahulu. 

Maksudnya, mereka memandang ke balik, serta berjuang guna nilai uraian di hadapan apa yang dikira sebagai kebaikan bawah dunia. Mengingat ini, kalau Hegel menawarkan up filsafat sejarah sebagai teodisi suatu pasti saja menampilkan kalau dia merasa itu berperan sebagai sebagian tipe puncak teologis ataupun penyempurnaan dari sejarah.
 
 
SUMBER :
* https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Teodisi
* https://www.kompasiana.com/balawadayu/601c36a9d541df32f0306d72/memahami-teodesi-dan-kejahatan?page=all#section2
* https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/download/2/3
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun