Hari Kamis, pagi, jam yang menempel di dinding di ruang pertemuan, yang termasuk salah satu ruangan yang megah dan besar di lantai dua ini, sudah menunjukkan pukul 09.30. Hari di luar cukup panas. Matahari bersinar dengan terang dan cerah. Tapi di dalam sini aku merasa kedinginan. Pertama mungkin karena pengaruh AC ruangan yang dinyalakan. Kedua mungkin karena aku akan menghadapi hari penghakiman.
Tanganku kedinginan, tetapi di saat yang bersamaan juga, tanganku berkeringat dingin.Â
Tidak banyak guru junior sepertiku di ruangan ini. Karena mungkin terlalu cemas dan khawatirnya, aku malas menghitung, tepatnya ada berapa guru junior di ruangan ini. Mungkin tiga atau empat, tapi salah satunya adalah aku sendiri.Â
Sedangkan di depanku, di tempat duduk pembicara, yang posisinya lebih tinggi daripada tempat duduk pendengar, berderet-deret duduk pemimpin sekolah, pejabat sumber daya manusia sekolah atau SDM, dan pejabat pengendali mutu sekolah atau PM.
Aku tahu, dan aku yakin, karena aku merasa kalau aku tidak terlalu bodoh meskipun juga tidak terlalu pandai, pertemuan ini sebenarnya dikhususkan untukku. Yang lain hanyalah sebagai pengemas dan pelengkap, agar mungkin, aku tidak merasa dihakimi.
Aku juga tahu, ini merupakan rangkaian kejadian pengunduran diriku. Pertama, aku menyatakan beberapa kesulitan dan kendala yang kutemui selama aku menjalankan UP kepada pemimpin sekolah, namun belum ditanggapi. Kedua, aku mengajukan pengunduran diri. Ketiga aku dimediasi secara informal dengan mengobrol santai dengan pejabat SDM dan timnya di gazebo, tapi masih buntu. Keempat, adalah hari ini.
Dan hari inilah, mungkin aku akan diadili, kenapa aku dianggap melarikan diri dari tugas yang diberikan oleh sekolah.
Kembali ke ruangan ini. Aku terus meremas-remas tanganku yang dingin, sambil terus melafalkan doa agar aku dimudahkan dan lancar berbicara.
Setelah pemimpin sekolah dan para pejabat memberi sambutan, yang tentu saja isi sambutannya menyerempet-nyerempet kasus pengunduran diriku. Pemimpin sekolah lalu izin meninggalkan ruangan.Â
Lalu setelah dua atau tiga guru junior dipersilakan menyampaikan hal yang menjadi kendala dalam mengerjakan tugasnya, yang aku sendiri saking fokus pada doa, kecemasan, dan latihan bicara, sampai tidak tahu para guru junior tadi melaporkan apa, gilirankulah yang diminta melaporkan.
"Baik.." kataku mulai pembicaraan dengan suara bergetar. Semua mata yang ada di depanku, menatapku, meskipun tatapannya mungkin biasa saja, atau justru itu sebagai bentuk perhatian para beliau kepadaku, menunjukkan bahwa para beliau tertarik pada pembicaraanku, tapi bagiku, tatapan-tatapan itu semakin membuat jantungku berdegup kencang.Â
Dan aku pun yakin, meskipun aku tidak melihatnya, guru-guru junior yang duduk sejajar denganku pun sedang menatapku semua.
Aku menenangkan diri, agar suaraku tidak begitu bergetar, tapi tetap, aku tidak bisa menghilangkannya secara sempurna. Aku mengambil nafas pendek, "Sebenarnya saya senang mengelola UP ini...Saya pun di rumah juga belajar bisnis kecil-kecilan...Hanya di sekolah ini, masalah yang dihadapi UP adalah, pertama tidak ada tenaga kerja, sehingga butuh tenaga kerja. Hal ini karena siswa sudah dipekerjakan secara terus-menerus sehingga mereka sudah lelah, dan bahkan sudah tertinggal materi pelajarannya.Â
Yang kedua, kalau tidak ada karyawan, sebenarnya saat ini UP sudah membutuhkan mesin untuk melanjutkan produksinya.Â
Yang ketiga, saya tidak bisa bekerja sendirian, dan memang begitulah kenyataannya, sehingga selama ini saya dibantu oleh teman-teman. Tapi sampai sekarang, tidak ada kejelasan status kami mengenai hal itu..." kataku akhirnya.
Aku menunduk, meskipun aku sudah berusaha menyampaikan laporan sebaik mungkin, tapi aku belum puas. Mungkin karena kegugupan dan ketakutanku, yang kusampaikan masih jauh dari yang kuharapkan.
Seharusnya yang terakhir, aku menyampaikan, Tolong hargailah tenaga kami, berilah kami upah, walaupun sekedarnya..dan seterusnya.
Tapi tidak apa-apa, aku sudah berusaha, aku juga sudah berdoa. Ini hanyalah salah satu bagian dari pembelajaranku, dan aku boleh salah, kataku lagi dalam hati, sibuk bicara sendiri, membela diriku sendiri.Â
Hening sejenak.
Setelah itu pejabat PM berkata, "Ehm.." kata pejabat PM, memulai pembicaraannya, "sebenarnya kekurangan karyawannya dimana, Bu Alia? Kalau kekurangan karyawan karena kesulitan memasarkan produk, tinggal diminta saja siswa untuk mencoba menawarkan produk tersebut ke instansi-instansi terdekat kita, misalkan puskesmas, kecamatan dan sebagainya. Ini juga bagus untuk pembelajaran siswa..."
"Mohon maaf Bapak.." kataku memotong.
"Ya?"
"Kesulitannya bukan karena memasarkan produk, tapi justru karena memenuhi permintaan pasar. Produk sudah kami titipkan ke toko-toko rekanan. Dan sekarang sudah ada enam toko rekanan. Tapi baru enam itupun kami kewalahan produksi. Belum lagi pembeli dari luar toko. Belum lagi produksi untuk tamu kunjungan dan pameran. Padahal itu sudah siswa yang mengerjakan. Dan siswa yang mengerjakan itu pun sampai tertinggal materinya." terangku, diulang lagi.
"Kalau begitu digilir saja siswa yang berproduksi, Bu Alia." kata pejabat PM lagi.
"Sudah Bapak, saya sudah menggilir siswa tersebut. Bahkan kelas XI, masing-masing kelas sudah dapat giliran hampir delapan kali. Kelas XII masing-masing sudah dapat giliran hampir lima kali. Dan kelas X, siswa baru, yang sebenarnya belum bisa diminta produksi, karena belum diberi teori tentang produksi, juga sudah digilir." terangku.
Pejabat PM diam sejenak, seolah memikirkan sesuatu.
"Dan ini, membuat saya tidak tega lagi menggilir mereka. Mereka juga sudah tidak mau, pokoknya apa ya bahasanya Pak..sudah eneg.. kalau diminta produksi lagi. Dan yang pasti mereka ketinggalan materi." terangku lagi.
"Sudah jenuh." kata pejabat PM, berusaha membantuku mencari kata-kata yang tepat.
"Betul itu Pak." kataku sudah cukup senang, meskipun hanya dibantu mencari kata-kata yang tepat. Dan rasa tegang dan gugup di dalam diriku pun mulai mencair.Â
Aku melanjutkan kata-kataku lagi, meskipun aku sering menunduk, agar aku tetap tenang dan suaraku tidak terlalu bergetar, "Itulah kenapa kami sebenarnya butuh karyawan khusus atau mesin pembuat jenang, untuk mengejar produksi. Karena saya sendiri juga sebenarnya sudah sering lembur di rumah Pak, bahkan liburan Sabtu-Minggu di rumah, saya gunakan untuk produksi jenang, untuk memenuhi permintaan toko-toko rekanan tersebut." kataku lagi.Â
Dan sudah begitu, tidak dibayar lagi! lanjutku dalam hati.
"Sebenarnya yang dimaksud ketinggalan materi itu seperti apa ya, Bu? Bukankah pelajaran produksi dan kewirausahaan termasuk materi di sekolah. Bukankah adanya UP itu justru siswa dapat keuntungan langsung. Karena dia belajar langsung seperti layaknya kerja di industri?" tanya PM lagi.
"Memang benar Pak. Tapi, bagaimana saya menjelaskannya ya..?" tanyaku sambil menunduk lagi mencari kata-kata yang tepat. "Jenis makanan yang diproduksi adalah jenang. Dan jenang itu masuk dalam mata pelajaran Olahan Nabati atau Tumbuhan. Sedangkan masih banyak materi pelajaran yang lain, seperti Olahan Hewani, Olahan Jamu Herbal, dan lain-lain. Nah, materi-materi pelajaran itulah yang tertinggal, akibat jamnya sering dipakai untuk produksi jenang." Terangku lagi.
"Oh, itu berarti harus melibatkan tim kurikulum ya..." kata Pejabat PM kepada pejabat SDM, namun suaranya lebih pelan.
"Betul Pak..dan saya tidak bisa mengatasi itu sendirian. Yang mana, akhirnya siswa juga, mohon maaf, bencinya kepada saya..setiap kali ketemu saya, pasti diminta produksi jenang. Ketemu saya, produksi jenang lagi. Saya sendiri sudah tidak tahu harus bagaimana.. sementara pesanan dari toko dan yang lain, datang terus..!" kataku lagi.
Sudah gitu, aku kerja sendirian lagi, bosku tidak peduli. Semua diserahkan kepadaku. Giliran maju untuk dapat apresiasi dan pujian, bos yang maju! kataku lagi, melanjutkan dalam hati.
"Itulah kenapa, paling tidak, kita butuh karyawan atau mesin untuk produksi Pak." kataku berulang-ulang.
"Masalah tugas UP yang banyak, kalau Bu Alia bagi tugas dengan sesama rekan guru di tim, gimana?"
Aku diam belum bisa menjawab. Aku sendiri masih bingung, ini termasuk menyampaikan fakta atau membuka aib orang lain. Saya tahu karakter  bos saya, dan saya tahu karakter para guru baru itu.Â
Akhirnya aku memilih untuk tetap diam.
"Masalahnya kompleks ternyata ya..?" kata pejabat PM kepada pejabat SDM lagi, sambil tersenyum, entah senyum apa, aku tidak tahu maksudnya.
Pejabat SDM pun mengangguk-angguk, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum juga, yang arti senyumannya pun, aku tidak tahu. "Kalau masalah karyawan dan mesin cukup sulit Pak..kita harus koordinasi dengan bendahara sekolah. Dan bendahara sekolah atau sekolah belum tentu ada uang.." kata pejabat PM lagi, setengah bergumam, karena seolah diskusi itu hanya untuk berdua, namun juga seolah agar aku ikut mendengarkannya.
"Betul..betul.." kata pejabat SDM.
"Kalau misal coba produksi dulu, terus nanti kalau ada keuntungan baru coba cari karyawan atau beli mesin gimana, Bu?" tanya pejabat PM lagi.
Aku menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil tersenyum. "Sudah tidak sanggup Pak, kami sudah melakukan itu selama hampir delapan bulan ini. Dan itulah kenapa saya mengajukan pengunduran diri." kataku akhirnya.
"Baik kita akan bahas lebih lanjut kalau begitu.." kata pejabat PM akhirnya.
"Baik Pak." kataku masih sambil menunduk tanpa ekspresi, tapi di dalam hati tersenyum. Karena tidak ada kata-kata penutup tambahan, berarti pengajuan pengunduran diriku untuk sementara diterima, dan itulah kesimpulanku.
"Baik, kami diskusikan dulu dengan tim kurikulum, bendahara sekolah, dan yang lain."
*
Hari Jumat, tiga minggu setelah hari penghakimanku, dan aku menyimpulkan sendiri pengunduran diriku diterima, pagi hari, sekitar pukul 09.00 ini, aku, Halima, Nisa, Dinda, dan Wilis memutuskan reuni dengan cara mengunjungi Liyana di rumahnya.
Nisa menyetir mobilnya di depan. Disampingnya ada Dinda. Sedangkan di belakang ada aku, Wilis, dan Halima.
"Ah...lama aku tidak melihat matahari secerah ini, dan pepohonan nampak hijau sesegar ini." kataku sambil melihat keluar jendela mobil, melihat ke berbaris-baris pohon jati yang sudah menjulang tinggi, rimbun, di kiri dan kanan jalan yang kami lalui.
"Hmm..sok puitis dia!" kata Dinda.
Nisa melihatku melalui kaca spionnya. "Agaknya Mba Alia lagi senang hatinya hari ini!" kata Alia sambil tersenyum.
Wilis ikut tersenyum, sedangkan Dinda dan Halima hanya tersenyum masam.Â
"Sudah mengundurkan diri jadi pejabat soalnya, dia!" kata Dinda.
"Wah..Mba..selamat yaa.. akhirnya!" kata Nisa lagi sambil tertawa, sambil melihatku lagi lewat spionnya. "Akhirnya Mba Alia bisa mengundurkan diri. Suamiku juga bilang, 'Itu Mba Alia ketimbang sibuk-sibuk ngurusin bisnis sekolah, mending bisnis sendiri lah ya?' gitu, katanya." kata Nisa lagi.
"Hmm.." balasku, sambil menatap keluar jendela lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H