Mohon tunggu...
Dian Sastra
Dian Sastra Mohon Tunggu... -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Al-Quran dan Pancasila: Bisakah Berjalan Beriringan?

12 Oktober 2016   20:52 Diperbarui: 14 Oktober 2016   09:20 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

3. Posisi yang Tidak Dipilih Langsung?

Lantas bagaimana dengan posisi yang tidak dipilih langsung oleh masyarakat, melainkan ditunjuk oleh pihak berwenang? Contoh: mentri, kepala dinas, dan pejabat lainnya. Dengan semangat premis kedua, tentu posisi-posisi lain juga idealnya diisi dengan orang-orang yang seiman. Di titik inilah premis pertama dan premis kedua bisa menjadi tidak kompatibel. Beberapa waktu yang lalu, Lurah Susan di-demo warga karena beragama non-Muslim. Sebagai catatan, lurah Susan mendapatkan posisi tersebut melalui proses lelang jabatan yang berarti kinerja merupakan indikator utama dalam pemilihannya. Baru-baru ini, Kombes Sigit Prabowo yang non-muslim juga ditolak sebagai Kapolda Banten oleh para ulama setempat.

Penunjukan Lurah Susan dan Kombes Sigit adalah perwujudan dari premis pertama. Penolakan terhadap mereka merupakan penistaan terhadap konstitusi. Bagi pihak yang mengedepankan premis kedua, tentu hal ini menjadi tidak kompatibel. Pada akhirnya, ini bergantung kepada individu masing-masing: apakah Anda mengedepankan premis pertama atau premis kedua dalam kehidupan bernegara.

4. Posisi Apa Saja yang Termasuk Strategis?

Bagi pihak yang mengedepankan premis kedua, sering kita dengar bahwa jabatan strategis wajib diduduki oleh seorang Muslim. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah batasan strategis tersebut? Apakah sekelas menteri disebut strategis? Kemungkinan besar ya. Apakah posisi kepala dinas perhubungan juga strategis? Mungkin tidak, tapi biar aman sebaiknya dipegang Muslim juga. Apakah posisi sekretaris kelurahan juga strategis? Wallahu a'lam. Secara tidak langsung, premis kedua secara berimplikasi pada lebih suka jika non-Muslim tidak diizinkan berkecimpung di pemerintahan ataupun militer.

Adapun demikian, patut diwaspadai jika premis kedua ini diterapkan pada berbagai lapisan pemerintahan. Apakah Anda bisa bayangkan, kabinet yang seluruh menterinya adalah Muslim? Ah sudahlah, di titik ini saya merasa kita sudah melenceng jauh dari cita-cita pendiri bangsa ini mengenai konsep Pancasila sebagai dasar negara.

Simpulan

Al-quran dan Pancasila bisa berjalan beriringan sampai pada titik tertentu. Pemaksaan untuk mengimplementasikan keduanya menjadi sesuatu yang lucu. Mengapa lucu? Karena memang pada dasarnya Pancasila bukanlah Islam dan Islam bukanlah Pancasila. Pendiri bangsa sepakat untuk tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Jika Pancasila memang sama dengan Islam, tentu keberadaan Pancasila itu sendiri menjadi dipertanyakan. Pancasila sejatinya lahir untuk merangkul segala suku bangsa dan agama yang ada di tanah air. 

Al-quran dan Pancasila meninggalkan sejumlah kontradiksi ketika dipaksakan keduanya. Pancasila memberikan ruang bagi umat muslim untuk menjalankan perintah agamanya. Di lain pihak, Al-quran mengatur berbagai aspek kehidupan manusia termasuk dalam membentuk tatanan bernegara. Pancasila jelas bukan manifestasi terdekat dari sistem pemerintahan yang digariskan Al-quran. Pada akhirnya, semua kembali ke pilihan Anda masing-masing sejauh mana Anda hendak mengimplementasikan keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun