Perseteruan antara Ahok dan (sebagian) umat Muslim belakangan ini terkait surat Al-Maidah 51 mengangkat pertanyaan yang lebih besar dari sekadar hiruk pikuk pilkada DKI Jakarta. Hal-hal yang selama ini abu-abu kini menjadi sorotan masyarakat Indonesia setanah air. Bagi saya sendiri, masalah ini timbul dari celah di sistem negara kita yang mungkin tidak begitu terpikirkan di masa lampau. Celakanya, bisa jadi tidak ada jalan keluar yang menyenangkan semua pihak.
Premisnya jelas ada dua.Â
1. Premis pertama, menurut Pancasila sebagai dasar negara, setiap WNI berhak menjadi pimpinan suatu daerah ataupun lembaga tanpa memperhatikan latar belakang suku dan agamanya.
2. Premis kedua, yaitu Al-quran menyatakan bahwa haram hukumnya untuk memiliki pemimpin dari golongan kafir.Â
Perlu dicatat bahwa tidak ada multitafsir untuk premis pertama, yakni (hampir) tidak ada orang yang mengatakan hal sebaliknya. Lain halnya untuk premis kedua, umat muslim saat ini masih terpecah menjadi dua kelompok antara yang memperbolehkan dan yang tidak.
Sekarang mari kita cermati beberapa impilikasi sekaligus pertanyaan yang timbul dari kedua premis di atas.
1. Konteks Pilkada Langsung: Sah-sah saja
Dalam kasus pilkada DKI Jakarta ataupun pemilihan langsung lainnya, tidak banyak yang bisa diperdebatkan di sini karena semua sebenarnya berjalan sesuai di koridor Pancasila. Keikutsertaan Ahok dalam ajang pilkada merupakan wujud nyata dari premis pertama.
Apabila warga DKI Jakarta yang notabene sekitar 85% muslim memutuskan untuk tidak memilih Ahok karena kepercayaannya, itupun merupakan hal yang dijamin dalam konstitusi karena setiap warga negara dapat menggunakan hak suara sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu dalam konteks pemilihan langsung, ketika warga secara sadar menempatkan agama di kriteria tertinggi dalam memilih kepala daerah, maka tidak ada yang salah dengan hal itu. Pemimpin daerah tetap terpilih secara demokratis dan warga menggunakan hak pilih sesuai dengan preferensi masing-masing. Premis pertama dan kedua dapat dipenuhi dengan baik.
2. Daerah Mayoritas Non-Muslim akan Dipimpin oleh Non-Muslim
Kalau kita asumsikan bahwa seluruh masyarakat Indonesia memilih dengan menggunakan agama sebagai kriteria pertama, maka bisa dipastikan bahwa calon Muslim yang berada di daerah mayoritas non-Muslim akan sulit untuk terpilih. Dan dengan logika yang sama seperti poin nomor 1, hal ini pun tidak melanggar premis pertama. Apakah ini melanggar premis kedua? Belum tentu. Ketika ada calon kepala daerah muslim, maka berdasarkan premis kedua seorang muslim wajib memilih calon tersebut. Yang saya belum paham, apabila tidak ada calon muslim yang berpartisipasi, maka langkah apa yang harus dilakukan seorang muslim tersebut: tetap memilih salah satu calon atau tidak memilih sama sekali.