Siapa yang tidak butuh harta? Pasti semua membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Harta adalah sebagian dari hidup kita. Kita makan butuh uang, minum butuh uang, kemana pun kita membutuhkannya. Tapi pada kenyataanya harta bukanlah segala-galanya. Kebahagiaan adalah paling utama dibandingkan dengan harta.Â
Harta membuat orang gelap mata. Gara-gara harta mereka rela menjual harga diri, gara-gara harta mereka rela menjual kehormatan, gara-gara harta mereka tega membunuh saudara sendiri, gara-gara harta mereka larut dalam kegelapan.Â
Dalam al-Qur'an tertulis, "Kemewahan telah melalaikan kamu, sehingga kamu masuk dalam kubur" (Q.S. At takasur : 1-2). Batas akhir harta adalah kematian. Berbagai cara didapatkan tanpa memperdulikan rambu-rambu yang ditentukan syariat, karena harta menjanjikan sebuah kenikmatan. Bukan berarti islam anti harta, akan tetapi bagaimana memperlakukannya sehingga harta tidak mendominasi hati kita.Â
Rasulullah pernah berdoa, "Ya Allah letakkanlah harta ditangan ku, dan janganlah Engkau letakkan dihatiku". Artinya boleh saja kita mendapatkan harta yang berlimpah dengan cara halal dan tidak merubah hati kita untuk selalu taat pada pemberi harta yaitu Allah.
Harta bukanlah segalanya, akan tetapi prilaku yang baik atau akhlak yang mulia dalam keseharian kita sangatlah penting. Harta sebagai sarana penunjang kebaikan, bukan kebaikan itu sendiri. Harta yang dikendalikan orang baik akan bermanfaat untuk kemaslahatan umat, sebaliknya apabila harta dikendalikan orang yang tidak baik akan menjadi fasilitas kemaksiatan.
Dan Jika pada suatu saat nanti kita meninggalkan dunia yang fana ini, maka orang akan lebih mengenang kita karena ucapan yang baik maupun tingkah laku yang sopan. Kenangan yang indah adalah kebaikan, dan sebaliknya kenangan yang buruk adalah kejahatan. Tetaplah untuk membuat orang senang melihat prilaku kita, dan tetaplah untuk membuat orang senang akan ucapan kita agar kita bisa hidup tenang di dunia mau pun di akhirat nanti.
Ada yang mengatakan bahwa pada dasarnya tiap orang ingin nyaman dan enak. Bahasa awamnya, siapa yang tak ingin kaya. Tapi harus kita akui bahwa memang tak sedikit orang yang menilai kekayaan adalah dari sisi materi (uang dan harta kepemilikan, aset, dan tabungan, dan lain-lain). Keinginan kaya membuat mereka membayangkan enaknya bisa memenuhi keinginan apa saja.Â
Karena kenikmatan hidup dipandang dengan "mata telanjang" bukan "mata hati", sehingga menyimpulkan hal demikian. Lalu kita lihat orang-orang kaya yang tak didukung tingkat wawasan dan pendidikan itu kadang amat lucu. Seperti banyak di sekitar kita orang kaya baru (OKB) yang karena wawasan dan pergaulannya kurang, lantas bertingkah laku aneh ketika punya banyak harta.Â
Akhirnya ia menganggap kekayaan materinya itu saja yang menjadi bahan untuk bereksistensi. Mungkin Si perempuannya beli berlaksa emas yang ditaruh di tangannya, di lehernya, di kupingnya, dan bahkan di kakinya. Mobilnya mewah. Beli ini dan itu. Anaknya juga dibelikan ini dan itu. Kamu pasti mudah menduga orang kaya baru ini (OKB) ini dulunya terlalu lapar dan miskin, sehingga ketika menjadi kaya mendadak, menjadi kalap.
Tapi memang tidak berlaku pada semua orang. Ada juga yang tidak. Hal itu tergantung dari beberapa faktor. Yang jelas manusia itu hidup dari kondisi yang dialami dan dihadapi, juga dari sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai. Dengan siapa ia bergaul. Bagaimana tingkat kesusahan dan kebahagiaan hidup yang dialami dari kondisi nyata yang ia hadapi.Â
Semuanya membentuk jalinan keadaan dan berpengaruh pada kejiwaan, pemikiran, dan perilaku. Persepsi dibangun oleh pengalaman dan komunikasi diri yang mempengaruhi cara melihat sisi luar diri (keadaan, lingkungan, kehidupan).
Sekali lagi, memanfaatkan harta sebik mungkin itulah yang diharapkan agama. Bagaimana bila seorang muslim tanpa harta? Infaq, shodaqoh, santunan bisa dilakukan orang-orang yang memiliki harta, bagunan sarana ibadah, Pendidikan pun juga bisa dibantu orang-orang dermawan yang memiliki harta.Â
Jadi kaya adalah suatu keniscayaan, tinggal managemen islami yang perlu diterapkan dalam pengaplikasiaanya, sehingga bisa berjuang dijalan Allah melalui harta.
Memang pada kenyataannya, kadang kita temui di antara orang-orang miskin itu yang cerdas dan bijak. Tak sedikit juga orang-orang banyak harta yang tak bijak. Banyak juga dari mereka lahir generasi tidak cerdas dan tidak bijak. Memang rata-rata kemiskinan mengakibatkan minimnya pendidikan dan juga membawa tingkat kesadaran tersendiri.Â
Tapi kadang kita temui di antara orang-orang miskin itu yang cerdas dan bijak. Tak sedikit juga orang-orang banyak harta yang tak bijak. Banyak juga dari mereka lahir generasi tidak cerdas dan tidak bijak. Artinya jika kita bicara keumuman dari fenomena, tentu masih ada kondisi khusus dari fenomena itu.
Memang, secara umum kemiskinan membuat orang serba kekurangan. Tapi kekurangan juga membuat orang bisa berjuang keras, dan kadang melahirkan kesadaran baru dan kecerdasan yang tinggi. Tapi memang sedikit, tapi selalu ada yang seperti itu.Â
Demikian juga, ketercukupan materi memang memungkinkan orang berada bisa memenuhi kebutuhan apa saja. Tapi di satu sisi keadaan itu juga membuat mereka terlena dan menumpulkan otak mereka alias meminimalisir kesadaran.
Seperti yang sering kita jumpai di beberapa keluarga berkecukupan yang ternyata anaknya justru tak terkontrol, liar, nakal, yang akhirnya justru merepotkan orangtua itu sendiri. Mengonsumsi narkoba dan pergaulan bebas. Kita jadi bertanya, sebenarnya apakah kaya dan berkecukupan harta itu adalah tujuan utama dari orang yang sudah berkeinginan membangun ekonomi keluarga dan kemudian melahirkan anak?
Bagi orang yang berada dalam kehidupan miskin susah, memang ada di antara mereka yang dengan ambisi besarnya kerja keras dan ketika menemukan jalan untuk kaya mereka telah berada dalam proses perjuangan keras mencari harta.Â
Orang obsesif-kompulsif pengejar harta ini mungkin lupa diri dan akhirnya ketika tujuan mencari harta tercapai ia menganggap memang itulah tujuan hidupnya sehingga itulah yang dianggap bisa "dipamerkan" pada orang lain. Tapi ternyata mereka lupa bahwa harta adalah sarana eksistensi dan bukan tujuan untuk bisa eksis. Harta adalah alat untuk hidup yang baik dan bermanfaat.
Tapi kalau ambisi memang kuat dan dibangun terus dalam jangka waktu yang lama, hingga lupa makna hidup yang lain selain mengejar harta karena memang awalnya amat lapar dan takut tidak kaya, maka ambisi itu akan jadi afirmasi diri yang membentuk cara pandang dan perilaku.Â
Anak jadi tidak diperhatikan, dan mungkin memberikan perhatian hanya lewat materi. Dan perhatian manipulatif ini ternyata mengganggu perkembangannya menuju pribadi yang otentik. Celaka bagi keluarga kaya yang memberikan perhatian dan kasih sayang ini melalui materi dan kurang berkomunikasi dengan anaknya.
Demikian juga bagi kaum miskin yang tingkat kemiskinannya ekstrim. Kemiskinan akut membuat orang yang mengalaminya tertekan, dunia menyempit dalam jiwa, karena hal yang paling mendesak untuk dipikirkan adalah bagaimana caranya bisa makan.Â
Bahkan fenomena kemiskinan di daerah perkotaan, ada kalanya mereka hanya berjuang untuk makan dan kemudian baru berteduh. Dari mereka lahir pribadi yang keras dan liar, dunia hidup dan mati. Bahkan ada di antara mereka yang pilihannya hanya mencuri atau tidak makan! Meminta atau tidak makan! Kesehatan yang buruk, lingkungan tempat hidup yang mengenaskan, membuat mereka tak mampu mengembangkan diri.
Mereka pun sering tak diakui keberadaannya sebagai gelandangan dan pengemis. Dan disembunyikan di belakang gedung-gedeng mewah dan tinggi menjulang. Kemiskinan ekstrim dan dan kekayaan 'over' (berlebih) itu sama-sama membuat orang jadi miskin eksistensi.Â
Tapi itulah yang terjadi di negara ini. Orang kaya hidup mewah di gedung-gedung menara, di bawah dan di belakangnya hidup dalam kemiskina yang buruk. Ini adalah ketimpangan nyata. 'Gap' ini menjadi basis bagi permasalahan eksistensi inividu-individu di dalamnya.Â
Pada hal 14 abad yang silam Rasulallah membangun Baitul mal (tempat harta) untuk orang-orang miskin, agar tidak terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi yang terpaut jauh diantara umatnya.
Gaya hidup orang kaya yang sering dimunculkan di media kemudian dianggap sebagai patokan gaya hidup yang paling sahih. Sedangkan ambisi untuk menjadi kaya raya muncul juga dari kalangan kaum miskin, pas-pasan, atau kelas menengahnya. Yang kata raya memamerkan gaya hidupnya yang sebenarnya miskin eksistensi lewat medianya.Â
Mayoritas rakyat miskin dirayu dengan tayangan iklan dan tayangan gaya hidup mereka. Gaya hidup orang kaya yang sering dimunculkan di media kemudian dianggap sebagai patokan gaya hidup yang paling sahih.Â
Sedangkan ambisi untuk menjadi kaya raya muncul juga dari kalangan kaum miskin, pas-pasan, atau kelas menengahnya. Media borjuis memfasilitasi ambisi dan keinginan naik kelas dengan ilusi pendidikan agar bisa mobilitas sosial ke atas (naik kelas). Di bidang budaya mereka juga diilusi dengan audisi-audisi menjadi artis yang selalu dijadikan acara televisi.
Pada masyarakat beginilah kita hidup. Ketimpangan dilanggengkan. Ambisi-ambisi menjadi kaya banyak muncul dari orang miskin, terutama pemuda-pemudanya yang berjuang keras untuk menjadi kaya. Dan ketika mereka merasa menggapai ambisinya, belum tentu mereka menjadi manusia-manusia yang berkualitas dan otentik.Â
Dalam masyarakat yang timpang ini, kaum muda banyak dihipnotis juga dengan tata cara menjadi kaya dengan cara instan.Â
Seperti pernah saya jumpai dalam seminar motivasi MLM, yang diomongkan pembicaranya adalah: Ayo menjadi kaya! Ayo menjadi kaya! Dan mereka menunjukkan caranya, ya salah satunya tentunya agar gabung dengan MLM yang sedang ditawarkan.Â
Gaya hidup ini memang membangkitkan untuk bekerja, tetapi mematikan intelegensi belajar mencapai kebahagian hakiki yang bersumber dari hati. Tidak selamanya harta dapat membahagiakan hati. Jelas sebgai muslim kedekatan dan mengingat Allah itu lah yang dapat menentramkan hati kita.
Harta jadikan motivasi untuk beribadah dan mendekat pada Allah. Pun perlu kita renungkan dalam sabda Rasulall ah, "Orang miskin hampir mendekati kekafiran," adalah tidak semua orang mampu bersabar dan bertahan dengan kondisi yang serba kekurangan.Â
Hinaan, cacian, merendahkan pasti setiap hari akan dialamatkan kepadanya. Apakah mampu bertahan? Iming-iming pindah agama menjadi isu update di desa terpencil dengan istilah "keimanan di tukar dengan mie instan". Na'udzubillah.Â
Untuk itu kaya harus, dengan disertai ilmu dan managemennya secara islami. Insyaallah akan membawa kebahagian lahir dan batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H