Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya Republika, 13 Juli, 2005.Â
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen PNS agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup.Â
Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, danatau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot-pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.Â
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen Pikiran Rakyat 9 Januari 2006.
Point yang terakhir dan point yang paling banyak dialami oleh para pelajar di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan sehingga tidak terjangkau oleh kalangan bawah. Sehingga masyarakat miskin tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak karena mahalnya biaya.Â
Di Indonesia sendiri, meski telah menghapuskan biaya pendidikan hingga jenjang SMA, masih ada dana informal yang harus dikeluarkan untuk siswa. Yang lebih penting lagi, pemerintah hanya bisa memberikan biaya pendidikan sampai jenjang SMA.Â
Sehingga banyak mahasiswa yang tidak bisa mendapatkan pendidikan tinggi yang sebenarnya penting untuk didapatkan, padahal pemerintah juga menyediakan PTN yang harga atau biayanya lebih murah dibandingkan PTS. Ada kemungkinan seseorang menyerah karena tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri sehingga harus masuk Perguruan Tinggi Swasta yang lebih mahal, karena Perguruan Tinggi Swasta tidak memiliki pemerintah.Â
Sekolah tentunya akan membebankan biaya yang tinggi untuk meningkatkan dan menjaga kualitas sehingga sering dikatakan bahwa pendidikan yang berkualitas itu mahal. mengakibatkan akses masyarakat miskin untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatas dan masyarakat akan semakin terbagi berdasarkan status sosial. Antara si kaya dan si miskin.Â
Pendidikan berkualitas tidak bisa murah, atau lebih tepatnya tidak harus murah atau gratis. Tapi siapa yang akan membayarnya? Padahal, pendidikan menjamin bahwa setiap warga negara mendapat pendidikan dan menjamin akses bagi kelas bawah untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Selain faktor di atas ternyata ada system pemerataan yang menghambat siswa yaitu system zonasi, system ini membuat anak yang berprestasi dan ingin masuk di sekolah menjadi kalah dengan anak yang rumahnya dekat, sudah banyak complain yang dilakukan oleh para murid tentang system ini, inspektur Jenderal Kemendikbud Daryanto mengemukakan bahwa sistem zonasi menempati posisi teratas dalam daftar aduan-aduan yang dikirim masyarakat ke Kemendikbud.Â
Dari 240 aspirasi yang diterima selama Juni-Juli 2017, 170 di antaranya terkait masalah PPDB. karena ini sangat membuat orang tua gelisah ingin menyekolahkan anaknya dimana dan terpaksa bersekolah di swasta, tentu saja biaya yang di keluarkan di sekolah swasta lebih banyak di banding sekolah negeri.