Mohon tunggu...
Diamar Pipit
Diamar Pipit Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

HAI, Kisah Klasik SMA

21 April 2018   11:12 Diperbarui: 21 April 2018   11:21 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu, selasa sekiranya pukul 11.20 suasana kelas cukup gaduh sebab tiadanya kegiatan belajar mengajar.

Berbalut busana putih abu-abu, aku sedang asik berkutat pada buku dan pensilku. Siang itu, dia datang, tidak ku lirik meskipun aku berada di deretan bangku paling depan, sama sekali tidak ku lirik, seolah olah aku memang betul betul sibuk dengan buku dan pensilku itu, meskipun sebenarnya saat dia datang, ada senyum yang takdapat ku bantahkan dari bibirku.

Ku tarik napas dalam dalam, dan ku dapati dia duduk tepat di meja belakang ku. Satu tingkat posisinya lebih tinggi dari ku.

Sederhana, dia yang baru mengambil posisi duduknya, meletakan telapak tangannya dikepala ku, sesekali diusapnya kepala ku dengan tangannya itu dengan lembut, lalu dia membiarkan tangannya tetap berada dikepalaku.

Kubiarkan, kubiarkan tangan nya tetap begitu, kubiarkan seolah olah kepalaku itu memang miliknya, memang untuknya, untuknya kapanpun dia mau mengusapnya, ku biarkan.

Ku biarkan, sangat acuh seolah olah pada siang itu aku memang benar benar sibuk dengan buku dan pensilku, padahal ada perasaan yang tidak dapat aku sembunyikan. Ada gejolak yang tidak bisa aku tahan.

Ada sesuatu entah itu apa, tapi jelas sekali tidak dapat aku lontarkan.

Ku biarkan, aku tetap diam meskipun sebenarnya ada banyak bunga bunga yang tidak bisa dia dan teman teman lihat.

Siang itu, suasanya kelas sangat gaduh, tapi sebaliknya bagi ku, siang itu benar benar menjadi siang yang hangat dan menjadi siang yang sangat aku rindukan suasananya.

Oh salah, ku rasa aku bukan merindukan suasananya.

Aku merindukan dia.

Baiklah, kurasa pipiku sekarang mulai memerah.

Hari itu, senin 2014

Ku puja matahari yang teriknya luar biasa, membuat suasana upacara bendera menjadi sangat panas. Sekiranya pukul 08.00 setelah komandan upacara membubarkan barisan, seluruh siswa berhamburan memecahkan sepi disetiap sudut koridor sekolah, ada yang berlari, ada yang tergopoh, bahkan ada juga yang berjalan santai sambil memaki panasnya pagi ini. Aneh memang, seolah tuhan menciptakan manusia tanpa rasa bersyukur.

Ku seka keringat di dahi ku, lalu aku berajalan menuju kursi deretan belakang setelah ku rapihkan tas dan buku buku ku di meja deretan depan. Aku duduk sebentar di kursi belakang, menghela napas panjang sambil mensejajarkan kedua kaki ku yang  ku rasa dia akan menjerit kelelahan. Entahlah, teriknya pagi itu memang membuat semua orang di barisan upacara kewalahan.

Oh iya, alasanku istirahat dibangku belakang saat itupun aku masih lupa, entahlah, mungkin hanya kebetulan.

Karena kebetulan, tak lama kemudian abdul datang dan duduk dikursi yang berhadapan dengan ku. Aku cukup dekat dengan abdul. Oh iya ku gambarkan sedikit bagaimana sosok abdul, supaya mudah untuk diimajinasikan.

Abdul, saat itu usianya satu tahun lebih tua dibanding diriku, kira kira 17tahun usianya saat itu. Posturnya tegap, tinggi dan sangat gagah, kulitnya juga bersih, hidungnya mancung dan aku masih ingat tergambar jelas dikepala ku bagaimana cara dia tersenyum, pokoknya pada saat itu ku rasa dia adalah salah satu cowok tertampan disekolah.

Oke, kita kembali pada hari yang mana sampai saat ini ku sebut sebagai kebetulan. Aku berbincang banyak dengan abdul, dia orang yang humoris dan menyenangkan, tapi kalau bercanda, dia suka sulit memilah antara bercanda dengan sesama laki laki atau dengan perempuan.

Singkatnya, kebetulan pagi itu di kursi bagian belakang saat aku dan abdul sedang asik berbincang, kudapati sosok yang tidak pernah absen untuk berkunjung ke kelas ku. Dengan gelagat yang ku bilang sok cool. Tapi aku suka. Entahlah, itu urusanku. Dia mulai mendekati aku dan abdul, dan benar saja, dia duduk di meja yang ada disebelah ku, lagi lagi satu tingkat lebih tinggi dari pada aku.

Ku coba menetralisir keadaan sebaik mungkin, sebab rasanya ingin ada roket yang mencuat, menerobos setiap sela yang tidak bisa ku tutupi dengan baik sehingga itu yang membuat senyum dibibirku berkembang sangat lebar saat ku dapati dirinya duduk disebelahku.

Tak sedikitpun ku lihat dirinya yang sedari tadi ikut asik berbincang dengan abdul, meskipun sebenarnya aku ingin. Sangat ingin. Aku gengsi. Biarin. Akukan perempuan.

Entah, bagaimana aku lupa seperti apa kejadiannya, hanya yang aku ingat adalah pada saat itu, dia turun dari meja berusaha untuk membantu  membersihkan rok ku yang pada saat itu kotor karena abdul menendang rok ku, saat itu dia membentak abdul dengan kesal setelahnya membantu membersihkan rok ku. Yang ku ingat pada saat itu, matanya terlihat kesal dan membentak abdul, tapi abdul hanya cengar cengir saja. Seperti yang sudah ku katakan tadi, abdul memang sulit membedakan bagaimana cara bercanda dengan laki laki atau perempuan, dipikirnya mungkin sama saja.

Tapi aku sama sekali tidak kesal pada abdul, justru aku sangat berterimakasih pada abdul, sebab kalau abdul tidak mengotori rok ku, maka aku tidak akan pernah melihat dia membela ku. Andai kalian melihat sendiri bagaimana pada saat itu dia marah pada abdul. Terimakasih abdul. Terimakasih. Meskipun ku katakan itu hanya dalam hati.

Rasanya, kalau boleh, kalau bisa, pada saat itu ingin langsung ku peluk dia sambil ku katakan "gua nggak apa apa, abdul nendangnya pelan kok, nggak sakit, kotor kan bisa di cuci" tapi itu hanya khayalan liar ku.

Andai kalian tau bahwa sampai saat ini saat aku mengingatnya, hati ku masih berdebar dan merasakan betapa bahagianya aku saat itu, seolah ada asupan tenaga dari jantung untuk memompa darah ku sangat cepat dan membuat jantungku berdekup dengan hebat. Ah dia, memang hanya dia.

Tak bisa ku jelaskan bagaimana sosok dia dimata ku, tidak. Tidak bisa. Kalaupun aku bisa, aku tidak mau. Tidak akan ku jelaskan bagaimana dia agar supaya kalian tidak bisa membayangkannya, sebab indahnya dia hanya aku yang tau. Hanya aku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun