Baiklah, kurasa pipiku sekarang mulai memerah.
Hari itu, senin 2014
Ku puja matahari yang teriknya luar biasa, membuat suasana upacara bendera menjadi sangat panas. Sekiranya pukul 08.00 setelah komandan upacara membubarkan barisan, seluruh siswa berhamburan memecahkan sepi disetiap sudut koridor sekolah, ada yang berlari, ada yang tergopoh, bahkan ada juga yang berjalan santai sambil memaki panasnya pagi ini. Aneh memang, seolah tuhan menciptakan manusia tanpa rasa bersyukur.
Ku seka keringat di dahi ku, lalu aku berajalan menuju kursi deretan belakang setelah ku rapihkan tas dan buku buku ku di meja deretan depan. Aku duduk sebentar di kursi belakang, menghela napas panjang sambil mensejajarkan kedua kaki ku yang  ku rasa dia akan menjerit kelelahan. Entahlah, teriknya pagi itu memang membuat semua orang di barisan upacara kewalahan.
Oh iya, alasanku istirahat dibangku belakang saat itupun aku masih lupa, entahlah, mungkin hanya kebetulan.
Karena kebetulan, tak lama kemudian abdul datang dan duduk dikursi yang berhadapan dengan ku. Aku cukup dekat dengan abdul. Oh iya ku gambarkan sedikit bagaimana sosok abdul, supaya mudah untuk diimajinasikan.
Abdul, saat itu usianya satu tahun lebih tua dibanding diriku, kira kira 17tahun usianya saat itu. Posturnya tegap, tinggi dan sangat gagah, kulitnya juga bersih, hidungnya mancung dan aku masih ingat tergambar jelas dikepala ku bagaimana cara dia tersenyum, pokoknya pada saat itu ku rasa dia adalah salah satu cowok tertampan disekolah.
Oke, kita kembali pada hari yang mana sampai saat ini ku sebut sebagai kebetulan. Aku berbincang banyak dengan abdul, dia orang yang humoris dan menyenangkan, tapi kalau bercanda, dia suka sulit memilah antara bercanda dengan sesama laki laki atau dengan perempuan.
Singkatnya, kebetulan pagi itu di kursi bagian belakang saat aku dan abdul sedang asik berbincang, kudapati sosok yang tidak pernah absen untuk berkunjung ke kelas ku. Dengan gelagat yang ku bilang sok cool. Tapi aku suka. Entahlah, itu urusanku. Dia mulai mendekati aku dan abdul, dan benar saja, dia duduk di meja yang ada disebelah ku, lagi lagi satu tingkat lebih tinggi dari pada aku.
Ku coba menetralisir keadaan sebaik mungkin, sebab rasanya ingin ada roket yang mencuat, menerobos setiap sela yang tidak bisa ku tutupi dengan baik sehingga itu yang membuat senyum dibibirku berkembang sangat lebar saat ku dapati dirinya duduk disebelahku.
Tak sedikitpun ku lihat dirinya yang sedari tadi ikut asik berbincang dengan abdul, meskipun sebenarnya aku ingin. Sangat ingin. Aku gengsi. Biarin. Akukan perempuan.