Mohon tunggu...
Oedin Only
Oedin Only Mohon Tunggu... Administrasi - Pemberdaya dan Petani

Berkeseharian dengan Desa dan Petani | Berutinitas dalam Pemberdayaan Penyuluh, Pelaku Utama dan Pelaku Usaha | Menyenangi Opini, Analisis dan Literasi | Ingin Berfocus Sebagai Penggiat Analisis Politik Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Berkelas Global | Juara I Lomba Blog KPK 2012

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Selamatkan Petani dari Praktik Politik Uang Pilkada Serentak

16 September 2024   10:40 Diperbarui: 16 September 2024   20:03 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Ada sekian alasan yang menjadi sebab orang memilih pasangan tertentu sebagai pemimpin mereka, baik presiden, gubernur, bupati/walikota, bahkan hingga level Kepala Desa. Bisa jadi karena personal orang tersebut dari sisi visi-misinya, gelar akademiknya,karena circle dan jaringannya, karena sosok fisiknya, identitas dan karakter personalnya, karena latar belakang keluarganya, latar belakang profesinya, bisa karena pengalaman dan kompetensinya, ada juga mungkin karena faktor balas jasa, faktor perintah pimpinan partai, atau karena faktor terpaksa memilih yang lebih kecil mudharatnya.

Dalam sistem demokrasi yang mengamini bahwa one man one vote, dimana suara mereka yang secara syarat sudah terkategori pemilih memposisikan mereka memiliki hak suara yang sama dalam memilih. Tak ada bedanya suara seorang ulama, cendekiawan, pelacur, pencuri, karena masing masing mereka yang menjadi warga negara punya hak politik yang sama dan punya 1 suara. 

Dan suara pemilih itulah yang diperebutkan mereka yang sedang berkontestasi. Pada pilpres 2024 kemarin konon jumlah suara yang diperebutkan adalah 204,8 Juta (data DPT dalam dan luar negeri).

Menurut data BPS total jumlah petani pengguna lahan pertanian di Indonesia tercatat 27,7 Juta Jiwa. Dimana terbanyak sebesar 5,4 juta jiwa ada di Jawa Timur (sensus BPS 2023)

Dalam pelaksanaan PILKADA serentak 2024 ditaksir memerlukan anggaran sekitar lebih dari 41 T. Kemendagri sejak tahun lalu meminta setiap daerah menyiapkan anggaran untuk PILKADA sebesar 40 % dari APBD 2023 dan 60 % dari APBD 2024 (kompas.com, 10/7/24). Jumlah PILKADA yang akan dilaksanakan di 545 daerah seluruh Indonesia, terdiri dari 37 Provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota (kompas.id, 30/8/24)

Berapa biaya yang diperlukan atau harus dikeluarkan seseorang yang ingin menjadi Gubernur, Bupati/Walikota?

Menurut Mendagri, Tito Karnavian Khusus untuk gubernur, survei yang digelar Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri selepas pilkada tahun 2015 menyebut untuk menjadi gubernur membutuhkan dana berkisar antara Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar (cnbcindonesia.com, 19/11/19). 

Hal senada disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, beliau menyatakan biaya politik di Indonesia sangat mahal, untuk menjadi kepala daerah Tingkat II dibutuhkan biaya 20-30 M, sedangkan untuk Gubernur dibutuhkan biaya hingga 100 M (wartaekonomi.co.id,1/7/22). 

Dalam pelaksanaan PILKADA kadang atau bisa jadi tak jarang ditemu praktek politik uang (money politic). Pemberian sejumlah uang kepada pemilih yang dimaksudkan agar si penerima memilih calon kepala daerah tertentu. Kadang juga diduga sengaja diberikan, walaupun tidak ada permintaan mencoblos calon tertentu secara lisan, tapi pemberian itu sebagai bentuk tanam jasa kepada pemilih yang menuntut pengharapan dukungan.

Bentuknya diduga tak jarang dalam istilah-istilah seperti hadiah, sedekah, infaq, ucapan terima kasih, atau "pengalih" meninggalkan pekerjaan untuk memilih. Kapan dana itu diberikan? Tak ada waktu tetap bahkan diduga ada yang melakukan serangan fajar sebelum PILKADA dilaksanakan.

Apa korelasinya dengan judul di atas? Apakah mereka yang memiliki profesi petani juga ada yang bersikap menerima "cuan" untuk memilih calon tertentu?

Realitasnya mungkin pembaca yang tahu. Keseharian petani mayoritasnya menghabiskan banyak waktu di lahan usahataninya, kadang tak peduli tanggal merah, tak ada hari libur kecuali ada kepentingan tertentu.

Momen PILKADA rencananya dilaksanakan bulan November, bulan dimana diduga hujan mulai turun dan kegiatan usaha tani khususnya padi dilakukan.

1 Hari dalam kegiatan usahatani amatlah berharga, tak jarang argumentasi pengalih waktu sehari (dengan sekian rupiah) meninggalkan usaha tani untuk hadir di pencoblosan merupakan bentuk perhatian ketimuran yang diapresiasi. 

Benarkah demikian? Entahlah. Di tengah biaya hidup yang tak murah, keperluan keluarga dan usahatani yang juga tak murah.

Adanya pemberian walaupun hanya 50 rb apalagi sampai 300-500 rb per orang, ibarat rejeki nomplok yang sayang ditolak. Apalagi perilaku elit yang diduga sebagian besarnya baru mendekat ketika akan menjabat, setelah terpilih melupakan pemilih menjadi obrolan ngalor-ngidul yang berulang dan tak pernah usang. Apalagi sebagian besar petani adalah petani gurem yang konon didominasi mereka dengan latar belakang pendidikan rendah dan nonmilenial.

Terkait dengan respon terhadap politik uang dalam PILKADA serentak menarik hasil survei Praxis Indonesia dengan responden 1.101 mahasiswa dari 34 provinsi. Mereka menyatakan 53 ,95 % mahasiswa tidak akan memilih pemimpin yang melakukan politik uang, sedangkan 43,05 % memilih menerima uang dari praktik tersebut (detik.com, 22/1/24).

Kira-kira kalau survei serupa dilakukan kepada petani, apalagi petani Gurem, bagaimana hasilnya ya? Mungkin ada lembaga survei yang minat melakukannya.

Padahal money politic konon adalah bentuk suap dan mahar politik yang turut berperan dalam mahalnya biaya politik di negeri ini, dan turut berperan pula melahirkan pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya, karena dia merasa sudah membayar pemilih dengan harga yang pantas atas kursi yang didudukinya.

Walaupun terang benderang larangan politik uang dan ancaman pidana bagi pelakunya, seperti yang tertuang dalam UU No.10 tahun 2016 (Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Pasal 187A ayat 1 bagi mereka yang memberi uang politik kepada pemilih baik langsung atau tidak langsung untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu dapat dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 3 tahun paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit 200 Juta paling banyak 1 M.

Lantas apakah penerima politik uang juga bisa diproses pidana?

Pada ayat 2 pasal 187A UU di atas Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

Mohon maaf sebelumnya. Perlu dipahami bahwa penulis tidak dalam posisi menjudge atau mengeneralisir semua petani memiliki sikap serupa, penulis yakin masih banyak petani yang memiliki kesadaran politik dan anti politik uang.

Penulis hanya memfokuskan pada mereka yang memilih dengan pertimbangan yang penting cuan ketika memilih. Edukasi dan pencerdasan politik petani merupakan hal yang tak kalah urgen, untuk melahirkan pemimpin ideal di negeri agraris ini.

Namun selama terjadi relasi simbiosis mutualisme dan adanya persepsi yang menempatkan pemimpin terbaik adalah pemimpin yang terbanyak memberi mahar masih terjadi, tidak beraninya saksi-saksi melaporkan kecurangan, tidak ditindaklanjutinya laporan-laporan politik uang, praktek politik uang akan sangat sulit diberantas.

Setidaknya penolakan praktek politik uang harus terus dikampanyekan, terus dilakukan penyadaran tentang bahaya, dampak negatif dan larangan perilaku tersebut. Hal ini dapat dimulai dari diri dan keluarga kita.

Jangan-jangan maraknya politik uang pada PILKADA dan mahalnya biaya politik kita merupakan konsekuensi penerapan demokrasi machiavelis dengan semboyan tak ada teman/musuh abadi yang ada adalah kepentingan abadi, kepentingan individu, keluarga dan kelompoknya?

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun