Apa korelasinya dengan judul di atas? Apakah mereka yang memiliki profesi petani juga ada yang bersikap menerima "cuan" untuk memilih calon tertentu?
Realitasnya mungkin pembaca yang tahu. Keseharian petani mayoritasnya menghabiskan banyak waktu di lahan usahataninya, kadang tak peduli tanggal merah, tak ada hari libur kecuali ada kepentingan tertentu.
Momen PILKADA rencananya dilaksanakan bulan November, bulan dimana diduga hujan mulai turun dan kegiatan usaha tani khususnya padi dilakukan.
1 Hari dalam kegiatan usahatani amatlah berharga, tak jarang argumentasi pengalih waktu sehari (dengan sekian rupiah) meninggalkan usaha tani untuk hadir di pencoblosan merupakan bentuk perhatian ketimuran yang diapresiasi.Â
Benarkah demikian? Entahlah. Di tengah biaya hidup yang tak murah, keperluan keluarga dan usahatani yang juga tak murah.
Adanya pemberian walaupun hanya 50 rb apalagi sampai 300-500 rb per orang, ibarat rejeki nomplok yang sayang ditolak. Apalagi perilaku elit yang diduga sebagian besarnya baru mendekat ketika akan menjabat, setelah terpilih melupakan pemilih menjadi obrolan ngalor-ngidul yang berulang dan tak pernah usang. Apalagi sebagian besar petani adalah petani gurem yang konon didominasi mereka dengan latar belakang pendidikan rendah dan nonmilenial.
Terkait dengan respon terhadap politik uang dalam PILKADA serentak menarik hasil survei Praxis Indonesia dengan responden 1.101 mahasiswa dari 34 provinsi. Mereka menyatakan 53 ,95 % mahasiswa tidak akan memilih pemimpin yang melakukan politik uang, sedangkan 43,05 % memilih menerima uang dari praktik tersebut (detik.com, 22/1/24).
Kira-kira kalau survei serupa dilakukan kepada petani, apalagi petani Gurem, bagaimana hasilnya ya? Mungkin ada lembaga survei yang minat melakukannya.
Padahal money politic konon adalah bentuk suap dan mahar politik yang turut berperan dalam mahalnya biaya politik di negeri ini, dan turut berperan pula melahirkan pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya, karena dia merasa sudah membayar pemilih dengan harga yang pantas atas kursi yang didudukinya.
Walaupun terang benderang larangan politik uang dan ancaman pidana bagi pelakunya, seperti yang tertuang dalam UU No.10 tahun 2016 (Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Pasal 187A ayat 1 bagi mereka yang memberi uang politik kepada pemilih baik langsung atau tidak langsung untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu dapat dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 3 tahun paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit 200 Juta paling banyak 1 M.
Lantas apakah penerima politik uang juga bisa diproses pidana?