Mohon tunggu...
Oedin Only
Oedin Only Mohon Tunggu... Administrasi - Pemberdaya dan Petani

Berkeseharian dengan Desa dan Petani | Berutinitas dalam Pemberdayaan Penyuluh, Pelaku Utama dan Pelaku Usaha | Menyenangi Opini, Analisis dan Literasi | Ingin Berfocus Sebagai Penggiat Analisis Politik Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Berkelas Global | Juara I Lomba Blog KPK 2012

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Penyuluh, Isu Pangan dan Debat Capres

26 Januari 2019   06:30 Diperbarui: 26 Januari 2019   06:47 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Paling asyik ketika menyaksikan debat adalah memetik buah kebenaran, dengan argumentasi yang klinyis-klinyis dan renyah orang akan ketagihan menyantapnya. 

Tapi kalau debat justru sekedar mencari pembenaran, yang tersaji adalah rasa pahit dan busuk dengan aroma kebencian, ketika disantap bukan lahir rasa enak, kenyang dan bergizi, tapi justru sebaliknya.

Debat sering kali dianggap representasi kualitas sosok, untuk mengetahui baik pilihan pemikiran, maupun pilihan sikap yang diambil oleh kontestan debat.  

Salah satu poin menarik debat capres episode  pertama kemaren adalah tentang statemen, tidak ada riwayat pelanggaran HAM, padahal benderang dimata dan telinga publik, tentang terbitnya perppu yang khusus untuk ormas tertentu dan menjadi dasar untuk mencabut badan hukumnya, padahal pembuktian kesalahannya masih memiliki bobot debatebel.

Debat sejatinya merupakan saluran komunikasi untuk menyampaikan gagasan baik bersifat kritik, masukan, atau bahkan pilihan kebijakan yang diempu sebagai solusi.  Waktu yang terbatas, pertanyaan kejutan, sikap personal, kerjasama, dan kesiapan jawaban, termasuk strategi menyerang dan bertahan merupakan perkara yang penting dalam debat. 

Debat capres punya peran strategis dalam edukasi bagi rakyat, khususnya terkait pencerdasan politik tentang kondisi bangsa dan langkah bangsa ke depan dalam menaklukan tantangan dan mewujudkan pembangunan serta kesejahteraan, tentu bukan kesejahteraan segelintir, tapi kesejahteraan merata yang adil dan memakmur.

Komoditas pangan strategis dan komoditas pangan unggulan menjadi prioritas rencana kerja institusi pertanian. Melalui upaya khusus dan upaya berkelanjutan komoditas tersebut digenjot produksi dan produktivitasnya. 

Rekayasa kebijakan, kreativitas dan inovasi teknologi dan desiminasi massif diupayakan dengan dukungan dana dan sdm yang tak sedikit. Inovasi-inovasi itu baik dari lemlit maupun pengalaman individu memberi pilihan yang menguntungkan untuk diadopsi pada usaha yang mulai digencarkan ke arah agribisnis dan agriindustri.

Ketika FAO berkunjung, dua hal yang disarankan tentang pangan dan gizi. Disinggung juga tentang pangan yang tak hanya aman tapi berkualitas.  Tentu memproduksi hal demikian perlu mengacu pada SOP dan standar.  Tantangan tak mudah untuk mencukupi kebutuhan konsumen. 

Pilihan budidaya organik dan ramah lingkungan adalah solusi untuk itu.  Tapi bisakah organik dan ramah lingkungan ini menjawab kepraktisan, kemurahan, dan hasil yang menggembirakan.  Benar, budidaya sekelas urban farming sudah mengarah ke situ, beberapa embrio kesuksesan organik juga sudah nyata dan layak diikut.

Hanya saja kebutuhan manusia akan pangan, seringkali tak bisa diprediksi dengan angka pasti, hanya bisa diproyeksi dengan angka ramalan.  Problems penyakit kronis yang mulanya disebab atau bahkan dipicu oleh pangan terus muncul, karbo yang tinggi pada nasi disinyalir turut berperan pada kualitas SDM dari aspek kesehatan, memeratakan pola konsumsi pangan yang sehat, berimbang, dan bergizi cukup masih berupa spot-spot dan domain kalangan tertentu. 

Tapi pangan tak hanya soal beras, cabe dan bawang adalah komoditas strategis yang dapat mempengaruhi inflasi. Cabe dan bawang adalah bagian bumbu dapur yang sering tak absen dalam urusan boga rumah tangga bahkan industri.

Ketika banyak negara menerapkan standar ketat akan residu pestisida yang dikandung komoditas, negeri kita masih dihadapkan pada tantangan produksi , konsumsi dan distribusi yang sering mengundang gejolak. Petani kebanyakannya menghendaki untung yang tinggi dalam produksi, konsumen menghendakinya ketersediaan barang dan harga yang murah.  

Dalam beberapa kasus, produk budidaya menjadi ajang uji coba kehebatan pestisida merek tertentu, yang indah secara hasil tapi subhat dan dharar secara keamanan dan kualitas.

Konon inflasi sektor pertanian sekian tahun terakhir mampu diturunkan dari 11 persenan hingga 1 koma sekian persen, bahkan negara sekelas Jerman dan Belanda mampu dilampaui. Inflasi ini berpengaruh pada investasi, daya beli masyarakat, bahkan pertumbuhan ekonomi. (Tentang ini nanti kita bicarakan sambil ngopi...hehehe...), tak bisa dipungkiri memang mengurus pertanian apalagi pangan tak sesederhana yang dikira, ada sekian problem berkait yang harus diselesai tentang reforma agraria, impor, kartel, tuntutan lembaga donor, pakta-pakta internasional yang punya misi ganda, dll. 

Hak pangan adalah hak asasi, untuk itulah salah satu alasan negara dibentuk dan pemimpin dipilih. Pangan tak hanya sebagai hak asasi semata tapi juga diupayakan  sebagai barometer bahkan leading sektor pembangunan, kenapa ? kan kita negara agraris katanya dan mestinya...

Yang menggelitik dalam pendulum kepala, apakah dalam debat nanti berani dilontarkan pertanyaan tentang kondisi dan masa depan tak hanya petani oriented, tapi mitra sejati mereka sebagai pejuang pangan bernama penyuluh? kata moderator berkumis : Silahkan calon nomer 01 terlebih dahulu memberikan tanggapan bagaimana kondisi penyuluh hari ini, bagaimana kiprahnya terhadap pembangunan pertanian, dan andai terpilih lagi apa langkah-langkah anda untuk mensejahterakan penyuluh dan meningkatkan kualitas SDM  mereka dalam menghadapi tantangan global terkait pangan: mungkin jawabannya : tak perlu saya yang mengurusi, saya kan punya pembantu yang ngurusi pertanian, nah itu tugas mereka.  

Ketika calon no 02 ditanya : jawabannya kira-kira, berdasarkan data, jumlah desa dan kondisi penyuluh yang ada, ternyata belum mencukupi kouta dan nasibnya kurang terperhatikan, bahkan mereka yang sudah mengabdi puluhan tahun hanya karena umur belum bisa diberikan status yang layak sebagai abdi negara, ini semua gara-gara mekanisme outsourching yang diterapkan rezim untuk merekrut tenaga kerja, jika saya terpilih mekanisme ini akan kami hapus karena merupakan produk kapitalisme yang sangat tidak memanusiakan manusia, hehehe...(sttt...banyakin do'a aja, semoga terwujud debat cerdas dan bernas nanti)

Selamat berkarya dan salam bahagia.  Beda pilihan boleh tapi tetap santun, karna kita bersaudara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun