Mohon tunggu...
Aras Atas
Aras Atas Mohon Tunggu... Editor - Penulis Muda

Literasi Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berakal dan Berpikir dalam Pandangan Islam

1 Februari 2019   22:32 Diperbarui: 2 Juli 2021   08:13 4780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berakal dan Berpikir dalam Pandangan Islam

Oleh: SIW

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal". (Al-Imran (3):190).

Ke-Esa-an Allah dapat dilihat, dirasakan, diartikan lewat mekanimes alam semesta (sunnatullah). Membenarkan mekanisme alam ini adalah bentuk kekuasaan Allah adalah tanda orang yang menggunak akal (sehatnya), (Uulul Albab).

"Uulul Albab" kurang lebih 16 kali tersebutkan dengan jelas dalam Al Quran. Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya Halam 209-210 menjelaskan tentang ayat di atas. Bahwa pergantian siang dan malam sepanjang hari, bahkan sampai pada masa yang sudah ditentukan hari berhentinya pergantian siang dan malam, bahkan lama dan pendeknya waktu malam atau siang adalah ketetapan Allah Swt. 

Tetapi yang dapat menerima bahwa itu adalah sunnatullah adalah orang-orang yang 'akalnya bersih lagi sempurna', yang mengetahui hakikat banyak hal secara jelas dan nyata. Dan jelasnya orang yang akalnya bersih dan sempurna itu tidaklah tulis dan bisu. Ibnu Katsir menjelas bahwa orang-orang seperti ini terjalaskan dalam QS. Surat Yusur 105-106. (Cari sendiri ayatnya)

Baca juga: Mana yang Lebih Butuh Nasihat, Orang Bodoh atau Berakal?

Satu hal lagi, Persoalan Ber-Akal dan berpikir. Dalam Alquran kerap menyinggung keduanya. Dan baru-baru ini sedang heboh selembar kertas (sertifikat) akal sehat. Dagelan ini kemungkinan sedang menghibur kaum bar-bar bahwa dengan lembar kertas itu adalah penanda mereka berakal (sehat). Padahal QS tidak iyakan hal secaman ini maka dari itu saya anggap sertifikat itu degelan warung kopi semata.

Berakal dalam Quran diperuntukkan dalam hal menerima kebesaran Allah, ke Esa an Allah dan seluruh fenomena Allah di alam semesta ini hanya mampu ditangkap/diterima/dicerna dengan baik oleh orang-orang yang menggunakan akalnya (Uulul Albab). Bagaimana bisa orang yang tidak sama sekali percaya akan keEsaan Tuhan Allah disebut telah memaksimalkan akalnya dengan baik (berakal). 

Artinya jika belum bisa menerima KeEsa-an Tuhan Allah dapat diartikan bahwa ia belum berakal. Bahwa perihal menundukkan ego akal yang belum bisa menerima keesaan Tuhan Allah adalah bagian dari cara Berakal, tapi disitulah letak keimanan orang pada Tuhannya, ketika mampu mengerti kecerdasan akalnya tidak untuk meniadakan keEsaan Tuhan meski kadang kala masih terus berdialektika dalam pikirnya.

Belum lagi quran mempersoalkan bagaimana cara berpikir yang benar.
Dalam quran seruan ber-Akal dan Berpikir disebutkan kurang lebih 100 kali, saya mengutip beberapa ayat yang menyinggung persoalan tersebut.

"Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi; dan pertukaran malam dan siang; dan (pada) kapal-kapal yang belayar di laut dengan membawa benda-benda yang bermanfaat kepada manusia; demikian juga (pada) air hujan yang Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta Ia biakkan padanya dari berbagai-bagai jenis binatang; demikian juga (pada) peredaran angin dan awan yang tunduk (kepada kuasa Allah) terapung-apung di antara langit dengan bumi; sesungguhnya ada tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah, kekuasaanNya, kebijaksanaanNya, dan keluasan rahmatNya) bagi kaum yang menggunakan akal fikiran (liqaumiy ya'qiluun)". (Al-Baqarah 164).

Baca juga: Ramai Provokasi Agama, Umat Wajib Waspada dan Berakal Sehat

"Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: "Siapakah yang menurunkan hujan dari langit, lalu Ia hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya?" Sudah tentu mereka akan menjawab: "Allah". Ucapkanlah (wahai Muhammad): "Alhamdulillah", bahkan kebanyakan mereka tidak memahami (laa ya'qiluun). (Al- Ankabut 63)

(Orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik) dengan keadaan bersatu padu sekalipun, tidak berani memerangi kamu melainkan di kampung-kampung yang berbenteng kukuh, atau dari sebalik tembok. (Sebabnya): permusuhan di antara mereka sesama sendiri amatlah keras; engkau menyangka mereka bersatu padu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu, kerana mereka adalah kaum yang tidak berakal (qaumul laa ya'qiluun).  (Al Hasyr 14).

"Dan tiadalah sebarang kuasa bagi seseorang untuk beriman melainkan dengan izin Allah; dan Allah menimpakan azab (arrijsa) atas orang-orang yang tidak mau berakal (laa ya'qiluun). (Yunus. 100).

Dan sangat tegas dalam ayat terakhir yang saya kutip, bahwa Allah berkuasa penuh akan persoalan manusia seperti apa yang dibukakan hidayah agar bisa menerima keEsaannya dengan lapang dada. Masih banyak sekali ayat-ayat Allah yang menjelaskan perkara peran Akal Pikiran dalam menerima KeEsaan_Nya.

Bahwa persoalan mengenal mana baik dan buruk, mana indah dan tidak indah, mana benar dan tidak benar, mana siang dan malam, selama kita belum mengakui apa yang telah kita kenal itu adalah bentuk mutlak keEsa an Allah, kita tidak dianggap telah berakal sehat. Boro-boro karena memilih Capres dan Cawapres pilihan ulama atau karena didukung oleh "Guru" Filsafat makan siapa saja yang memilih atau menambatkan pilihannya pada calon itu telah "berakal sehat". Justru saya katakan sebaliknya, sikap itu telah mungkar dari kekuasaan Allah, karena tidak menyandarkan pada keEsa an Allah itu sendiri.

Hal berikut yang ingin saya bahas adalah tentang cara berpikir sebagian umat Islam di Indonesi ini. Khususnya diakibatkan oleh fenomena kepemiluan.

Ketika seorang yang bukan dari kalangan umat Islam diberi kesempat berbicara (orasi) di dalam masjid lantas diteriaki takbir. Saya tidak begitu menyoalkan ada orang yang bukan dari Islam masuk ke dalam masjid. Tapi soal teriakan takbir itu.

Baca juga: Berkarya dan Berinovasi Bukti Kemanfaatan Makhluk Berakal

Ketika Masa Rasulullah, datang utusan dari Romawi menemui Rasulullah dan ijinkan mesuk Masjid Nabawi, tak tanggung-tanggung, Nabi. Saw. meminta mereka menunjukkan (mempertontonkan keahlian permainan pedang mereka) dari beberapa riwayat Aisyah r.a diperkenankan menonton pertunjukan itu. 

Tapi tidak pula saya temukan rasul dan para sahabatnya meneriakkan takbir saat melihat pasukan Romawi itu mendemonstrasikan keahliannya. (Jika ingin baca yang lebih lengkap, baca saja buku tulisan Dr. Yusuf Qardhawi. Islam Jalan Tengah)

Hal ini saya urai bukan untuk "membenarkan" orang non muslim masuk masjid, lantas memberi pandangan politik agar sigap melawan sebagian umat islam yang menjadi lawan politiknya. Bukan pula coba-coba meng-qiyaskan persoalan lama dan yang baru saja heboh ini.

Pada uraian terakhir ini saya ingin tegaskan lagi, bahwa persoalan berakal dan berpikir, kami orang muslim insya Allah telah tersetifikasi dalam banyak Ayat dalam Al Quran, meskipun masih banyak umat-umat Islam yang belum juga sepenuhnya berakal sehat menurut kehenda Al Quran. Jadi alangkah rendahnya derajat kami orang muslim jika harus merekontruksi ulang akal kami hanya karena permainan argumentasi dan logika "sesat" dari seseorang tidak sama sekali mengakui Ke Esa an Allah (siapapun itu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun