Mohon tunggu...
Aras Atas
Aras Atas Mohon Tunggu... Editor - Penulis Muda

Literasi Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jari-Jari "Beracun"

26 Januari 2019   21:27 Diperbarui: 26 Januari 2019   21:55 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Koleksi Pribadi

Tulisan ini rencananya mengurai pengalaman singkat saya jadi jurnalis (abal-abal) di Ibukota. Kemudian menarik-nariknya ke salah satu isu yang sedang hangat kuku (tai ayam) alias sedikit viral di media sosial. Moga-moga saja tidak garing.

Ketika itu saya dipasanglah oleh salah satu media Online menjadi wartawan yang meliput peristiwa-peristiwa politik di Ibukota. Dipasanglah untuk meliput di Balai Kota, kantor Gubernur DKI Jakarta yang kala itu masih Ahok menjabat dan saat itu Ia masih berjaya.

Setiap pagi, saya selalu disarankan untuk membaca berita-berita di media lain sebelum ke balai kota, "belajar mengetik cepat, biar jari-jarinya beracun" kata redaktur saya kala itu. Singkatnya saya menulis berita dan mengirim ke meja redaksi untuk di edit kembali. Apa kata redaktur saya, berita saya kurang asik, alias "jari-jemari saya belum beracun".

Hari-hari demi hari saya tetap di Balai Kota, meliput dan mewawancarai pejabat daerah salah satun yang saya liput soal penertiban pasar tanah abang yang terkenal itu. Tapi lagi-lagi jari-jemari saya belum beracun hingga tidak menyengat para pembacanya. Singkatnya kemudian saya dipindahkan untuk meliput di DPR RI, lahan basah kata para wartawan senior disana. Hehehe.

Setelah di DPR RI saya tetap di sarankan baca berita (isu) sebelum ke lapangan dan tambah perhatikan wartawan media A, B dan C agar melihat cara mereka mengolah berita dan (isu). Saya kaget bukan kepalang melihat salah satu rekan wartawan dari Media A yang jari-jarinya cepat setara dengan orang berbicara.

Tak sekalipun saya melihat rekan ini melihat layar HPnya, dia hanya fokus pada narasumber dan sambil bertanya, jari-jarinya terus bergerak sesuai yang ditutur oleh narsum. Dalam hati saya berkata inikah yang disebut jari-jari beracun itu?

Hari demi hari saya terus meliput di DPR RI hingga punya kesimpulan nakal bahwa para anggota dewan itu ada yang merasa candu untuk diliput ada juga yang lari ketika ada wartawan yang menghampiri (mungkin dia benar punya kasus besar kata saya dalam hati saja kala itu).

Saya belajar lagi dari wartawan B soal kedalaman menggali isu dan mengembangkan isu agar melebar selebar-lebarnya. Karena kata seniorku saat itu wartawan dari media B dab C paling jago mencuri info bahkan yang masih tersembunyi di kantong si narsum .

Nah, soal jari-jari beracun itu ternyata tidak perlu jadi wartawan di Balaikota atau DPR, cukup di kamar kos yang nuansanya pengap makan jari-jari bisa juga beracun. Atau kelamaan menjomlo bisa jadi pemicunya, mungkin juga kasus patah hati juga bisa jadi pemicu? Soal jari-jari beracun itu ternyata soal kualitas ketikan kita yang mampu membuat orang terpanggil untuk membaca dan mungkin juga merasa terganggu atas ketikannya.

Ini yang terjadi pada kasus yang menimpa Imara  pemuda di NTB/Lombok. bisa jadi ada sederet masalah yang ia hadapi hingga jari-jarinya terkontaminasi racun "Iseng". Sialnya iseng model ini berujung cilaka seperti kata Doel Sumbang dalam syairnya "Aku tidak sinting, tetapi cilaka. Apalagi sinting pasti lebih cilaka..... Lantaran meminum arak kencing kuda".

Tentu saudaraku dari Lombok itu adalah "Korban" dari keganasan informasi media sosial yang tidak berimbang. Tentu juga korban dari lahirnya regulasi yang tidak memikirkan dampak dan perbaikan moral generasi muda yang labil sepertinya.

Sumber utamanya adalah UU ITE bukanlah solusi memangkas kata-kata "kritis" dari rakyat jelata. Mengkerangkeng anak muda seperti pemuda Lombok itu adalah virus yang menjalar ke masyarakat lain, di tambah pemberitaan yang masif akan memperpanjang urusan bahwa rejim sedang labil, tidak siap dikritik lantas apa bedanya dengan Orba kata Alumni-alumni reformasi.

Keputusan dalam UU hanya berujung pidana dan itu bukan cara merubah kepribadian orang dari A menjadi Z apa lagi menjadi B. Tohk banyak yang di bui karena curi Ayam, pas keluar curi lagi Sapi. Tidak ada efek jera atas kasus ini, malah menambah kebencian rakyat pada para pengadil. Memang Jokowi sebagai objek hinaan dari si pemuda tidak pernah melapor langsung, tapi lihat lah, orang mengatasnamakan Jokowi kasus ini tetap berlanjut, hukum berjalan sesuai kepastiannya (dalam kasus ini).

Pihak pengadil dalam hal ini polisi tidak perlu euvoria soal kasus ini bahwa ini adalah prestasi penyidikan. Atau para pemburu berita viral tidak perlu gagap memviralkan kasus ini. Hukum harus merubah tindakkannya, bukan menghukum tapi mendidik.

Misal si anak muda ini diberi pelatihan kepribadian, entah semingu lamanya, sebulan lamanya beri dia pelatihan semi militer agar tumbuh kepribadian barunya, karena pihak polisi punya kapasitas itu, mendidik, melatih, mencerdas anak-anak muda sepeti pemuda itu.

Dan lebih urgen lagi, hapus UU ITE karena bukan solusi lagi. Kian banyak orang tersandung kasus yang sama bukan malah berkurang. Kian banyak orang yang saling melapor lantara regulasi mewadahi itu. Pemerintah pun turut mencotohi prilaku saling lapor melapor ini, padahal momen yang menyebabkan rakyat bersikap kiritis tidak bisa hindari, bahkan momentum politik praktis itu dimulai dan dimanfaatkan oleh pihak pemerintah dan atau pencari suaka di ranah ini (politikus).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun