Mohon tunggu...
Diajeng Ashkia
Diajeng Ashkia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Political science student interested in consulting.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bias Gender dalam Ranah Kekerasan Seksual

19 Mei 2022   19:16 Diperbarui: 19 Mei 2022   19:32 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya patriarki seringkali memandang perempuan sebagai gender inferior, lebih lemah, atau bahkan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Alhasil, dari generasi ke generasi, gender perempuan seringkali tidak diakui kemampuannya maupun keberadaannya; dengan dibatasi aksesnya terhadap hak-hak dasar, seperti akses terhadap bidang ekonomi, pendidikan, sosial, politik, dsb. 

Keadaan ini pun memicu munculnya gerakan perempuan barat dalam menuntut hak dan kesetaraan dalam bidang ekonomi dan politik, yang disebut juga dengan gerakan feminisme. 

Meski awal mula terlahirnya gerakan feminisme adalah untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, akan tetapi pada dasarnya, gerakan tersebut nyatanya bertujuan untuk memperjuangkan terciptanya kesetaraan gender.

Pada dasarnya, semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda. Dalam hal ini, gender lebih ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan berkembang di masyarakat. 

Dalam realitas kehidupan telah terjadi perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan yang melahirkan perbedaan status sosial di masyarakat, di mana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan konstruksi sosial. 

Adanya pengklasifikasian antara peran gender pun mengantarkan kita kepada terbentuknya bias gender. 

Bias gender hadir dan berakar dari adanya penggeneralisasian peran gender pada tahap dimana penggeneralisasian tersebut condong kepada pemahaman budaya patriarki, yang memandang perempuan sebagai gender yang less dominant maupun subordinat, 

dan laki-laki sebagai gender yang lebih superior atau sebagai gender yang memegang kekuasaan yang lebih besar serta dapat bersifat mendominasi terhadap perempuan.

Maka, dari adanya eksistensi bias gender yang memandang bahwa laki-laki merupakan gender yang lebih kuat, dominan, maupun superior, dan vice versa, perempuan lebih lemah dan inferior, pada kasus-kasus kekerasan seksual, gender laki-laki seringkali dinilai sebelah mata oleh masyarakat. 

Dikarenakan penggeneralisasian tersebut, korban-korban kekerasan seksual dengan gender laki-laki tak jarang mengalami pembungkaman suara, baik oleh keluarga, kerabat, instansi (kepolisian), dsb. ketika korban tersebut membuat laporan atas adanya tindakan kekerasan seksual. 

Fenomena tersebut terjadi karena adanya bias gender terhadap gender laki-laki yang secara sosial dituntut dan dipandang sebagai gender yang "seharusnya" mampu "melindungi" diri sendiri. 

Padahal, nyatanya siapapun dapat menjadi korban dari tindak pelecehan maupun kekerasan sosial, tanpa memandang latar belakang mereka, terlepas usia dan gender yang mereka miliki. Hal ini juga berkorelasi dengan adanya budaya toxic masculinity yang menilai bahwa laki-laki harus berpegang teguh pada standarisasi sifat-sifat maupun sisi maskulinitas mereka yang melambangkan "kejantanan" sejati. 

Padahal, maskulinitas bukanlah suatu hal yang memiliki tolak ukur maupun tidak dapat dijadikan standar perubahan zaman.

Baik perempuan, laki-laki, maupun gender lainnya dapat menjadi korban, sekaligus pelaku dari aktivitas kekerasan seksual. Sayangnya, dikarenakan masih kentalnya pemahaman budaya patriarki dan toxic masculinity, banyak masyarakat Indonesia yang masih beranggapan bahwa yang dapat menjadi korban dari kekerasan seksual hanya terbatas pada perempuan dan anak-anak saja. 

Maka dari itu, inilah pentingnya kita melakukan sosialisasi dan penyebaran awareness kepada masyarakat mengenai pemahaman mereka di sekitar ranah kekerasan seksual, terutama pengaturan penyebaran awareness yang dapat kita lakukan pada anak-anak, baik dalam ranah keluarga maupun di bangku sekolah agar mereka memiliki pemahaman yang kuat terhadap topik-topik sensitif seperti ini dari sedini mungkin. 

Hal ini penulis katakan sebab tak hanya fenomena kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja kepada siapapun, akan tetapi juga dapat terjadi dimana saja, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, perguruan tinggi, perkantoran, dsb.

 Sehingga, sangat krusial untuk adanya pemberlakuan sosialisasi kepada anak-anak dari sedini mungkin untuk membangun wawasan mereka mengenai tindakan-tindakan seksual yang bersifat mengancam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun