Padahal, nyatanya siapapun dapat menjadi korban dari tindak pelecehan maupun kekerasan sosial, tanpa memandang latar belakang mereka, terlepas usia dan gender yang mereka miliki. Hal ini juga berkorelasi dengan adanya budaya toxic masculinity yang menilai bahwa laki-laki harus berpegang teguh pada standarisasi sifat-sifat maupun sisi maskulinitas mereka yang melambangkan "kejantanan" sejati.Â
Padahal, maskulinitas bukanlah suatu hal yang memiliki tolak ukur maupun tidak dapat dijadikan standar perubahan zaman.
Baik perempuan, laki-laki, maupun gender lainnya dapat menjadi korban, sekaligus pelaku dari aktivitas kekerasan seksual. Sayangnya, dikarenakan masih kentalnya pemahaman budaya patriarki dan toxic masculinity, banyak masyarakat Indonesia yang masih beranggapan bahwa yang dapat menjadi korban dari kekerasan seksual hanya terbatas pada perempuan dan anak-anak saja.Â
Maka dari itu, inilah pentingnya kita melakukan sosialisasi dan penyebaran awareness kepada masyarakat mengenai pemahaman mereka di sekitar ranah kekerasan seksual, terutama pengaturan penyebaran awareness yang dapat kita lakukan pada anak-anak, baik dalam ranah keluarga maupun di bangku sekolah agar mereka memiliki pemahaman yang kuat terhadap topik-topik sensitif seperti ini dari sedini mungkin.Â
Hal ini penulis katakan sebab tak hanya fenomena kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja kepada siapapun, akan tetapi juga dapat terjadi dimana saja, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, perguruan tinggi, perkantoran, dsb.
 Sehingga, sangat krusial untuk adanya pemberlakuan sosialisasi kepada anak-anak dari sedini mungkin untuk membangun wawasan mereka mengenai tindakan-tindakan seksual yang bersifat mengancam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H