"Run Forest, run!" Lecutan semangat dari teman tersayang membuat Forest Gump yang awalnya menggunakan alat bantu bisa lari sekencang-kencangnya dari kejaran teman-temannya yang hendak membully-nya.
Sejak saat itu Forest Gump menjadi sosok autis yang menginspirasi banyak orang. Sepanjang hari ia lari, lari dan lari. Selang beberapa tahun kemudian ia menjadi pelari terkenal. Menerima banyak tropi dan bergelimang uang. Kepolosannya dalam berkata-kata  mengundang gelak tawa yang mendengar. Kebaikan hatinya menghangatkan siapapun yang berada di dekatnya. Dibalik kecacatan intelektualnya dia yang awalnya adalah sosok insecure karena bully menjelma jadi pujaan banyak orang.
Ya, meskipun hanya sekedar film namun cerita tentang autis mengharu birukan perasaan. Di satu sisi ternyata masih banyak orang tua yang belum bisa menerima kondisi anaknya didiagnosa autis. Mulai dari menyalahkan diri sendiri, rasa malu dipandang aneh oleh masyarakat hingga cemas tidak bisa merawat anaknya.
Di sisi lain masyarakat pun sebelas dua belas saja. Masih banyak yang mengolok-olok ketika seseorang terlihat menyendiri. Dibilangnya "lagi autis". Tak heran kasus bullying pun terus terjadi.
Atas dasar itulah yang membayangi derap langkah Alvinia Christiany dan koleganya mendirikan Teman Autis. Komunitas ini sangat fokus dan konsisten pada masalah autis.
Melalui Teman Autis, Alvinia dan timnya menciptakan wadah edukasi untuk mempermudah orang tua maupun masyarakat umum dalam mendampingi anak-anak autis. Mereka ingin lebih banyak orang yang sadar bahwa autis bukanlah sebuah penyakit namun kondisi spesial yang membutuhkan pendampingan dan arahan khusus.
Alvinia dan timnya menyadari tidak semua orang paham apa itu autis(me) dan bagaimana seharusnya bersikap dan bertindak terhadap penderita.
Banyak sebab dan faktor yang melatar belakangi sikap individu terhadap autis. Ia menyadari hal tersebut tidak lepas dari minim atau terbatasnya pemahaman terhadap autisme di Tanah Air. Perbedaan kondisi fisik dan mental dari manusia normal umumnya masih dianggap asing dan lucu sehingga layak dijadikan olok-olokan. Sebab itu awareness dan sosialisasi menjadi senjata bagi Alvinia untuk menjadikan Indonesia ramah autisme.
Komunitas yang berbasis di Jakarta ini sudah berkiprah sejak 2017. Awalnya Teman Autis ini bernama Light Up Project. Namun, pada 2018, gerakan ini mem-branding diri dengan visi yang lebih spesifik. Bahkan, pada awal mula berdirinya gerakan ini mayoritas menggunakan pendanaan mandiri yang berasal dari para anggotanya.
Saat ini Teman Autis memiliki lebih dari seratus mitra termasuk klinik, tempat terapi dan sekolah. Mereka juga membagikan informasi tentang autisme melalui website www.temanautis.com.
Komunitas ini mengadakan webinar dan IG live bersama para ahli sebulan sekali untuk memfasilitasi edukasi autisme. Untuk kegiatan offline Teman Autis pun bahkan turun ke jalan lewat acara Car Free Day untuk mensosialisasikan autis.
Teman Autis menyadari meskipun informasi mengenai autis mengalir deras di internet tapi informasinya masih tercerai berai dan sumbernya belum dapat dikatakan terpercaya.
Meskipun demikian Alvinia Chritiany optimis dengan jumlah SDM yang hanya 13 orang Teman Autis akan mampu menjangkau seluruh masyarakat di Indonesia. Saat ini bersama beberapa mitra mereka tengah mengembangkan layanan baru berupa konsultasi daring secara berpindah-pindah kota.
Hal tersebut ditempuh untuk menjembatani para orang tua yang tinggal di pelosok dan minim akses agar mendapat bantuan dan layanan maksimal mengenai autis.
Sosoknya terlihat biasa saja. Dengan rambut sebahu tergerai Alvinia Christiany memancarkan sorot mata dan senyum penuh kehangatan. Menyiratkan salam "kamu tak sendiri. Ada aku di sini".
Bekerja sebagai interior design Alvinia Christiany adalah salah satu penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu (SATU) Indonesia Awards ke-13 untuk kategori kelompok. Sepak terjangnya dari mulai awal merintis Gerakan Teman Autis hingga berhasil menerima apresiasi bergengsi tersebut sangat menginspirasi. Semoga tidak ada lagi bullying dan semakin banyak orang tua yang menerima kondisi buah hatinya yang autis. Bagaimanapun autis bukanlah aib. Autis tidak bisa disembuhkan tapi yang bisa kita lakukan adalah menerima dan berdamai dengan keadaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H