Mohon tunggu...
Diah Woro Susanti
Diah Woro Susanti Mohon Tunggu... Full Time Blogger - blogger

Blogger, Content Creator FB : Mbak Dee Twitter/Ig : @mba_diahworo Email : Diahworosusanti@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jelajah Click Batu Tulis Bogor, Serasa Dilempar Mesin Waktu

13 Juni 2023   13:21 Diperbarui: 13 Juni 2023   13:39 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah bagian ke 2 kenang-kenangan saya ikut KPK Gerebek dan Jelajah Click di Bogor. Kesannya beneran serasa dilempar mesin waktu ke masa silam. Banyak sekali misteri yang bikin penasaran. Mau tahu?

Sebelumnya saya dan teman-teman sudah isi perut dulu di Laksa Pak Inin Cijeruk Bogor. Destinasi selanjutnya kami menuju kawasan Batu Tulis dengan menggunakan angkot. Jaraknya ga jauh koq, hanya sekitar 4 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 10 menit saja.

Agenda Kompasianer kami kali ini berkunjung ke Stasiun Batu Tulis dan prasasti Batu Tulis yang lokasinya tidak jauh dari stasiun.

Jujur, meskipun bolak-balik suka lewat stasiun Batu Tulis saya belum pernah mampir. Yang saya tahu stasiun ini viewnya cuakepp. Kita bisa memandang keindahan gunung Salak dan gemericik air sungai Cisadane.

Sebagai pemandu dan admin Click, mba Mutia Alhasanny menjelaskan sekilas mengenai sejarah stasiun Batu Tulis. Woaaaa ga disangka rupanya keberadaan stasiun ini sudah ada sejak masa pejajahan Belanda, tepatnya dibangun pada era kolonial Belanda yaitu tahun 1920.

Bentuk bangunannya belum berubah sejak pertama kali dibangun sampai sekarang. Masih asli! Makanya ga salah kalau bangunan stasiun ini dijadikan cagar bangunan bersejarah.

Dok. Indah Noing
Dok. Indah Noing


Memang, sih, ketika saya dan teman-teman Kompasiana berkunjung, nuansa interior kolonial masih kentara. Pilar-pilar kayu yang terlihat kokoh dengan atap genteng yang tinggi terlihat menonjol. Ada juga pintu besi yang tebal di samping charger area ; khas bangunan jadul. Saya auto membayangkan derit pintu besi dibuka wong Londo saat malam hari, hmmm...

Puas berfoto ria di sekitaran stasiun dan beristirahat sejenak rombongan Kompasianer jalan kaki menuju Prasasti Baru Tulis. Apa keistimewaannya, ya, mengingat lokasinya persis berseberangan dengan istana Batu Tulis?

Dari berbagai informasi yang saya dapat konon ibukota kerajaan Sunda yang dikenal dengan Kerajaan Pajajaran terletak di kota Bogor, persisnya di Batu Tulis. Wilayah kerajaannya mulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta, Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Luas banget, khan? Kurang lebih 1/8 pulau Jawa. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Buktinya apa bisa dilihat dari goresan tulisan aksara Sunda kuno pada sebongkah Batu besar yang dinamakan Prasasti Batu tulis. Isinya diantaranya menjelaskan kalau disinilah tempat penobatan raja-raja Pajajaran termasuk Prabu Siliwangi (1482-1521).

FYI Prabu Siliwangi adalah salah satu raja yang sangat disegani di masa ke pemerintahannya karena kesaktiannya. Di tangannya kerajaan Sunda Pajajaran menjadi kerajaan besar.

Nah di sebelah prasasti ada Batu lonjong besar yang dinamakan Batu Lingga. Batu ini katanya adalah perwujudan dari Prabu Siliwangi, ayahanda Surawisesa. Ada juga yang bilang di dalam batu ini bersemayam roh Prabu Siliwangi.

Di depan Prasasti ada Batu Tapak. Banyak yang mempercayai ini adalah bekas telapak kaki Prabu Surawisesa, si pembuat prasasti Batu Tulis dan raja terakhir di kerajaan Sunda. Beliau kebetulan adalah anak Prabu Siliwangi.

Nah, lantas apa kaitannya dengan istana Batu Tulis yang persis berseberangan dengan Prasasti Batu Tulis? Entahlah. 

Dok. Kang Bugi
Dok. Kang Bugi


Kami hanya bisa berfoto ria di depan gedung bersejarah bertuliskan Hing Puri Bima Sakti. Tapi dari berbagai sumber saya menemukan fakta lagi kalau kawasan istana Batu Tulis sebelum menjadi kediaman pribadi keluarga Soekarno adalah tempat peristirahatan ahli vulkanologi Belanda. Di sinilah dia mengamati gunung Salak setelah erupsi besar di tahun 1699.

Pertanyaan tentang istana Batu Tulis masih menggelayut di dalam hati. Tapi penasaran juga dengan ajakan mbak Muth ke pemandian keramat Cipulus. Katanya lokasinya persis di belakang istana Batu Tulis.

Tanpa berlama-lama kami menyusuri pinggiran rel kereta stasiun Batu Tulis menuju pemandian yang dulunya kerap digunakan raja dan keluarganya untuk mandi.

Sampai di lokasi ada perasaan sedikit kecewa. Dalam imajinasi saya tempat pemandiannya seperti Taman Sari di Yogyakarta. Rupanya ini berbeda 180 derajat. Tidak ada kolam besar untuk mandi, yang ada hanya keran air pancuran yang mengalir dari pralon dan kamar mandi kecil yang terlihat kumuh.

Dok. Mutiah Alhasanny
Dok. Mutiah Alhasanny


Tapi, lagi lagi keinginan tahuan saya muncul. Rupanya, air pemandian Cipulus ini mengandung karomah. Keramat. Banyak manfaatnya.

Sebab itu banyak peziarah yang datang ke pemandian ini. Biasanya mereka mandi kembang sesuai dengan hajat dan niatnya.

Kami pun disarankan untuk minum air pancuran dengan membaca doa terlebih dulu. Bismillah, saya kemudian membasuh muka dan mengisi botol air yang sudah kosong untuk meminumnya nanti. Rasanya segar. Persis air pegunungan yang mengalir sampai jauh itu lho heheee...

Bukan Kompasianer kalau tidak bergurau. Setelah cuci muka saya diledek Kang Bugi. "Wah mbak Diah langsung terlihat muda. Coba cuci muka tiga kali lagi, nanti bisa owek owek," Sahutnya menirukan suara tangis bayi.

Aaah inilah yang selalu bikin saya kangen. Kangen momen ledek-ledekan dan gelak canda dengan teman-teman Kompasianer. Gak ada matinya biarpun ga sempat joget Tiktok #upsss hahahaaa...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun