Kabupaten Magetan merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur dan terletak di paling ujung Provinsi Jawa Timur yaitu di antara Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Kabupaten Magetan dikenal memiliki kondisi geografis atau letaknya sangat strategis, yaitu di bawah kaki atau lereng Gunung Lawu. Kabupaten Magetan berbatasan dengan Kabupaten Ngawi di sebelah utara, Kabupaten Madiun di sebelah timur, Kabupaten Pacitan di sebelah selatan, dan Kabupaten Ponorogo di sebelah barat.
Kabupaten Magetan dikenal sebagai salah satu daerah pertanian yang subur di Jawa Timur. Pertanian yang terdapat di Kabupaten Magetan sendiri yaitu salah satu sektor ekonomi utama di daerah ini, dan serta adanya tanah yang subur mendukung pertumbuhan tanaman seperti padi, jagung, tembakau, tebu, dan berbagai jenis sayuran.Â
Di Kabupaten Magetan sendiri memiliki tanah yaitu seperti tanah Ultisol dan Inceptisol, yang memiliki karakteristik berikut: Ultisol merupakan jenis tanah yang cenderung merah atau coklat merah dan umumnya bersifat asam. Ultisol seringkali memiliki kandungan bahan organik yang cukup tinggi.Â
Tanah ini kurang subur dan memerlukan pemupukan yang baik untuk pertanian. Sedangkan tanah berjenis Inceptisol merupakan tanah muda yang sedikit lebih baik dalam hal kesuburan daripada Ultisol. Inceptisol seringkali lebih gembur dan cocok untuk pertanian.
Salah satu wilayah di Kabupaten Magetan yang berpotensi untuk dilakukannya usaha tani tebu yaitu Kecamatan Bendo. Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perkebunan (2016) luas lahan yang digunakan untuk penanaman tebu di Kabupaten Magetan pada tahun 2015 lalu yaitu sebesar 7.697 Ha dengan jumlah petani sebanyak 41.562 KK.Â
Jumlah petani tebu tersebut cukup banyak memiliki persebaran lahan serta memiliki lokasi yang berbeda-beda. Salah satu kecamatan yang dikenal penghasil tebu yang paling banyak yaitu di Kecamatan Bendo denghan luas panen pada tahun 2014 sebesar 1430 Ha dan jumlah produksi tebu sebanyak 91.806 Kw (BPS 2016).
Maka dari itu Kabupaten Magetan dikenal sebagai daerah serta wilayah yang mampu memproduksi hasil pertaniannya terutama padi dan tebu. Salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Magetan dan dikenal sebagai daerah penghasil tebu perkebunan rakyat terbesar adalah di Kecamatan Bendo dengan luas panen pada tahun 2014 sebesar 1430 Ha dan jumlah produksi tebu sebanyak 91.806 Kw (BPS, 2016).Â
Berdasarkan fenomena teoritis, Menurut Gustiana (2017) salah satu indikator keberhasilan suatu usaha tani bergantung pada pendapatan yang diterima petani tersebut.Â
Petani di Desa Pingkuk rata-rata melakukan kegiatan usahat ani tebu namun pendapatan petani di desa tersebut belum maksimal karena kepemilikan luas lahan budidaya tebu di lahan kering/tegalan yang sempit dan petani menjual hasil panennya kepada tengkulak.Â
Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga maka petani melakukan usaha tani selain tebu seperti padi dan cabai, selain itu petani maupun anggota keluarga yang lain juga banyak yang bekerja di bidang non usaha tani.Â
Penelitian mengenai pendapatan usahatani tebu sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian tersebut tidak menyelidiki pengaruhnya terhadap pendapatan total rumah tangga petani.
Berdasarkan fenomena teoritis, kegiatan usaha tani bisa disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tersebut seperti teknik budidaya, sedangkan faktor eksternal yaitu seperti kondisi alam (Hidayati, 2016).Â
Menurut Gustiana (2017) salah satu indikator keberhasilan suatu usaha tani bergantung pada pendapatan yang diterima petani tersebut. Sedangkan pendapatan rumah tangga merupakan faktor penting dalam mencapai tingkat kesejahteraan keluarga (Bekti et al., 2016).
Berdasarkan teori tersebut terdapat beberapa pertentangan antara pernyataan bahwa suatu fakta tertentu ada dengan maksud atau tujuan penelitian yang sedang dilakukan , sesuai dengan penjelasan fenomena empiris dan teoritis.Â
Hal ini sesuai dengan status Desa Pingkuk yang di nobatkan sebagai salah satu daerah penghasil tebu di Kabupaten Magetan, namun pendapatan petani di desa pingkung tidak terlalu tinggi karena para petani menjual hash yang dihasilkan dari lahan budidaya tebu ke tengkulak. Karena pendapatan dari tebu usaha tani tidak terlalu tinggi, petani seringkali melakukan pekerjaan non usahat ani selain tebu , seperti produksi padi dan cabai. Hal Ini mencakup petani lain dan anggota keluarga lainnya.Â
Adanya tindakan tersebut maka dilakukan untuk menaikkan harga sewa rumah penyewa. Usaha tani Tebu Memiliki Kontribusi Signifikan Terhadap Kecamatan Bendo Pendapatan Tangga Rumah Petani.
Menurut para petani tebu yang bertempat tinggal di Kecamatan Bendo tepatnya di Desa Pingkuk, terdapat beberapa kendala yang sering dihadapi para petani saat ini adalah rendahnya harga pasaran di tingkat petani.Â
Dengan ditetapkannya Harga Eceran Tertinggi (HET) gula pasir oleh pemerintah akan membuat harga tebu di tingkat pasaran para petani merasa dirinya tertekan sedangkan biaya produksi tebu semakin meningkat.Â
Harga merupakan salah satu faktor penting dalam produksi pertanian karena sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang akan diterima oleh para petani. Untuk mendapatkan tambahan pendapatan dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya, petani di Desa Pingkuk tidak hanya melakukan usaha tani tebu saja melainkan melakukan usaha tani dengan komoditas lainnya bahkan juga melakukan usaha di samping usaha pertanian.
Hal tersebut membuat para petani memiliki pendapatan yang rendah untuk mecukupi kebutuhan hidupnya. Tingkat pendapatan yang relatif rendah tersebut dapat mendorong suatu kemiskinan karena tidak cukupan pendapatan tersebut, sehingga dapat dikatakan tingkat penghasilan yang sangat minim atau sangat kurang, hal tersebut juga akan berpengaruh pada aspek kesehatan para keluarga petani yang dapat menyebabkan tingkat kesehatan menurun, seperti rendahnya kualitas pakaian yang dipakai, dan kurangnya kondisi perumahan yang memadai (Soekartawi, 1996).Â
Kemiskinan yang dialami oleh para petani akan menyebabkan rumah tangga tidak lagi bergantung pada hasil usaha tani nya. Akan tetapi para petani akan berusaha memperoleh double income dari berbagai sumber di luar usaha tani nya. Semua tenaga kerja yang ada jika masih berkesempatan dan berkemampuan akan dikerahkan untuk mencari nafkah demi kelangsungan ekonomi rumah tangga (Suratiyah 1994).
Pada tahun 1975, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 9 yang berisi penanaman tebu tidak dilakukan sendiri oleh pabrik gula namun diserahkan kepada petani untuk dikelola di atas tanahnya sendiri yang sering disebut program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).Â
Kepemilikan lahan petani yang relatif kecil (rata- rata 0,3 Ha) dan kurang memperhatikan budidaya yang benar mengakibatkan rendemen rendah (dibawah 7%) dan sangat sulit mencapai rendemen 8%.Â
Puncak dampak kebijakan TRI dapat dirasakan pada tahun 1985, di mana produktivitas tebu turun drastis menjadi 6 ton gula/ha. Sejak saat itu hingga sekarang produktivitas tebu sangat sulit dicapai angka 7 ton gula/ha (Murdiyanto, 2012).
Sistem yang dijalankan dalam program TRI mengindikasikan adanya pelimpahan tanggung jawab produksi gula, yang semula, dari pabrik gula ke petani yang belum menguasai teknologi penanaman tebu secara maksimal.Â
Petani harus mempersiapkan lahan, menanam bibit, memelihara, menebang, serta membawa tebu ke pabrik. Selain itu, para petani TRI harus mengajukan kredit kepada BRI untuk dapat menjalankan usaha tani tebunya (Mubyarto, 1996).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H