Pada tahun 1975, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 9 yang berisi penanaman tebu tidak dilakukan sendiri oleh pabrik gula namun diserahkan kepada petani untuk dikelola di atas tanahnya sendiri yang sering disebut program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).Â
Kepemilikan lahan petani yang relatif kecil (rata- rata 0,3 Ha) dan kurang memperhatikan budidaya yang benar mengakibatkan rendemen rendah (dibawah 7%) dan sangat sulit mencapai rendemen 8%.Â
Puncak dampak kebijakan TRI dapat dirasakan pada tahun 1985, di mana produktivitas tebu turun drastis menjadi 6 ton gula/ha. Sejak saat itu hingga sekarang produktivitas tebu sangat sulit dicapai angka 7 ton gula/ha (Murdiyanto, 2012).
Sistem yang dijalankan dalam program TRI mengindikasikan adanya pelimpahan tanggung jawab produksi gula, yang semula, dari pabrik gula ke petani yang belum menguasai teknologi penanaman tebu secara maksimal.Â
Petani harus mempersiapkan lahan, menanam bibit, memelihara, menebang, serta membawa tebu ke pabrik. Selain itu, para petani TRI harus mengajukan kredit kepada BRI untuk dapat menjalankan usaha tani tebunya (Mubyarto, 1996).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H