Era informasi digital sendiri bagi saya suatu kemajuan dan revolusi yang luar biasa, meskipun sekali lagi bukannya tanpa cela. Dengan infromasi mudah, banyak orang yang meras paling tahu setelah membaca satu sumber saja. Padahal kita harus melihat dari banyak perspektif agar bisa menganalisa tentang isu-isu tersebut. Akhrinya critical thinking si penyerap informasi tidak terlalu berekmbang. Oleh karena itu Indonesia sering heboh membahas satu isu, dari satu perspektif lalu menghilang dan diganti isu baru tanpa ada closure jelas. Jelas pemikiran yang tidak kritis sangat mudah digiring. Hal itubjuga berdapak pada saya. Akhir-akhir ini saya terlalu sering mengutip pendapat orang dari media sosial dan internet dalam tugas. Tentu ilmu itu berguna untuk saya, wawasan bertambah. Namun, saya merasa itu tidak sehat, karena ilmu tidak sama dengan informasi. Akhirnya saya hanya menyerap ide, dan tersendat saat berupaya untuk menciptakan ide. Hal itu sangat terasa saat saya berusaha membuat essay untuk acara kepemudaan internasional. Rasanya mentok. Saya makin jarang menulis, makin jarang belajar karena saya anggap menyerap informasi sudah termasuk kategori belajar dan cukup. Padahal kenyataannya tidak.
Makin banyak orang merasa kehilangan makna. Dan saya pikir teknologi memiliki andil dalam hal tersebut. Saya percaya perjuangan selalu berbuah manis dan perjuangan memperkuat makna. Dengan adanya kesulitan, kita menyadari betapa berartinya hal tersebut bagi kita oleh karena itu kita perjuangan. Saya rasa, pada akhirnya banyak hal yang mempengaruhi nilai sesuatu. Toh saya percaya Tuhan tidak menciptakan satu hal pun yang sia-sia. Termasuk hal yang menyakitkan seperti kesulitan dan perjuangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H