Mohon tunggu...
Diah Sukmawati Malik
Diah Sukmawati Malik Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lagi suka sinema, sastra, Skandinavia, & sosialisme.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teknologi Digital di Bumi Manusia

6 Juni 2014   04:21 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:06 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu belakangan ini saya sering merenung tentang teknologi digital, dan saya yakin banyak orang yang sering memikirkan ini juga.

Teknologi digital memang memberikan semua akses kemudahan yang bisa jadi jauh diluar ekspektasi orang-orang sebelum kita.

Mau belanja? Tinggal browsing di situs belanja online favorit, bayar online, tunggu barang dirumah... dan voila! Barang pesanan tiba.

Mau update berita terbaru? Buka saja google, twitter dan portal berita online dan kita langsung tahu apa yang sedang terjadi baru-baru ini.

Memudahkan? Pasti.

Menguntungkan? Belum tentu.

Akhir-akhir ini saya merasa kehilangan sebuah nilai. Nilai dari hal-hal yang ada sebelum era digital seperti sekarang. File-file berupa ebook, video dan foto dan .mp3 misalnya. Semua bisa diakses dan didapat dengan mudah.

Kemudahan itu semakin terasa melenakan. Karena mudah jadi rasanya tidak istimewa.

Saya entah sampai kapan bisa bertahan dengan buku. Pengalaman dalam menyusuri lorong rak buku, memilah, menyentuh buku, rasanya tidak tergantikan dengan ebook gratis. Begitupun dengan kaset musik. Mereka memerlukan perawatan dan kepedulian, tidak.lantas ditinggal dan bisa dihapus tak berbekas di dalam recycle bin.

Pengalaman saya, saya menjadi serakah dalam mendownload. Misalnya saya suka satu lagu dari penyanyi A. Saya borong download full album si A itu yang pada akhirnya lagu yang saya dengarkan dengan rutin hanya satu atau dua. Ebookpun begitu. Banyak yang tidan tersentuh bahkan dilupakan.

Bahkan nilai foto, yang menjadi suatu ikon kenangan, rasanya dengan menjamurnya aplikasi fotografi, gaya hidup yang tak bisa lepas dari kamera ponsel dan kamera depan untuk selfie (dimana sebenarnya fungsi aslinya adalah untuk komunikasi video call) menjadi sia-sia. Tak bernilai sama sekali, atau setidaknya nilainya berkurang. Ketika era polaroid atau tustel, orang akan mencari momen yang tepat untuk mengabadikannya, karena harga film mahal. Hasilnya menjadi foto kenangan yang sangat berarti. Namun sekarang, orang sedang menunggu lantas memotret diri sendiri atau makanan atau kaki atau lingkungan sekitar tanpa maksud yang jelas. Diupload ke instagram, di link ke semua jejaring sosial dan merasa sangat bangga karena jadi anak gaul dan hip. Hidup hanya sebatas membuat orang lain terkesan lewat dunia maya. Memoteret makanan lucu agar orang lain terkesan kita anak gaul yang sering wisata kuliner dan bahagia. Memotret diri sendiri, diedit berbagai rupa agar orang lain terkesan kita sangat rupawan dan bahagia. Mengkultwitkan suatu isu hangat agar orang lain terkesan kita sangat cerdas dan bahagia. Update sedang makan apa, sedang membaca apa, sedang hangout dimana lalu merasa seluruh dunia memperhatikan dan mengagumi kita. Lantas keasyikan bermain ponsel dan mengabaikan lawan bicara di dunia nyata, karena kebahagiaan ada di pergaulan dunia maya. Hal itu semakin lumrah terjadi.

Era informasi digital sendiri bagi saya suatu kemajuan dan revolusi yang luar biasa, meskipun sekali lagi bukannya tanpa cela. Dengan infromasi mudah, banyak orang yang meras paling tahu setelah membaca satu sumber saja. Padahal kita harus melihat dari banyak perspektif agar bisa menganalisa tentang isu-isu tersebut. Akhrinya critical thinking si penyerap informasi tidak terlalu berekmbang. Oleh karena itu Indonesia sering heboh membahas satu isu, dari satu perspektif lalu menghilang dan diganti isu baru tanpa ada closure jelas. Jelas pemikiran yang tidak kritis sangat mudah digiring. Hal itubjuga berdapak pada saya. Akhir-akhir ini saya terlalu sering mengutip pendapat orang dari media sosial dan internet dalam tugas. Tentu ilmu itu berguna untuk saya, wawasan bertambah. Namun, saya merasa itu tidak sehat, karena ilmu tidak sama dengan informasi. Akhirnya saya hanya menyerap ide, dan tersendat saat berupaya untuk menciptakan ide. Hal itu sangat terasa saat saya berusaha membuat essay untuk acara kepemudaan internasional. Rasanya mentok. Saya makin jarang menulis, makin jarang belajar karena saya anggap menyerap informasi sudah termasuk kategori belajar dan cukup. Padahal kenyataannya tidak.

Makin banyak orang merasa kehilangan makna. Dan saya pikir teknologi memiliki andil dalam hal tersebut. Saya percaya perjuangan selalu berbuah manis dan perjuangan memperkuat makna. Dengan adanya kesulitan, kita menyadari betapa berartinya hal tersebut bagi kita oleh karena itu kita perjuangan. Saya rasa, pada akhirnya banyak hal yang mempengaruhi nilai sesuatu. Toh saya percaya Tuhan tidak menciptakan satu hal pun yang sia-sia. Termasuk hal yang menyakitkan seperti kesulitan dan perjuangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun