Di sebuah kota kecil yang senantiasa diselimuti mendung, hiduplah seorang wanita muda bernama Sarah. Meski terlahir dalam keluarga yang sederhana, ia memiliki mimpi besar. Ia ingin menjadi pelukis terkenal.Â
Sejak kecil, ia terpesona oleh warna dan bentuk. Ia sering menghabiskan waktu di sudut-sudut kota, menggambar dengan pensil dan cat sisa yang ia temukan di tempat sampah atau diwarisi dari saudaranya yang sudah dewasa.
Setiap malam, di kamarnya yang sempit, Sarah berusaha mengekspresikan keindahan dunia melalui goresan kuas. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan yang menggambarkan harapan, kesedihan, dan keindahan alam. Namun, impian itu seakan jauh dari jangkauannya. Keterbatasan finansial seringkali membuatnya meragukan kemampuan dan mimpi besarnya.
Sore itu, saat Sarah duduk di bangku kecil di sekitar taman jalan, ia mendengar percakapan sekelompok seniman yang berbicara tentang pameran seni yang akan datang. Hatinya bergetar mendengar kata "pameran" dan "kesempatan." Ia berharap bisa ikut serta, tetapi ia tahu untuk mencapai itu, ia harus berjuang lebih keras.
Di meja sebelah, seorang pria dengan penampilan culun menarik perhatian Sarah. Pria itu mengenakan kacamata tebal dan pakaian yang terlihat tidak terawat serta rambut yang dibelah tengah, Â tampak sibuk dengan laptopnya. Sarah menatapnya sejenak, kemudian kembali fokus pada lukisannya.
Tiba-tiba, pria itu menoleh dan bertanya, "Apa kamu seorang pelukis?"
Sarah terkejut. "Iya, tapi hanya hobi," jawabnya ragu.
Pria itu tersenyum lebar. "Hobi yang hebat! Seni itu penting." Dia memperkenalkan dirinya sebagai Arman. Sejak saat itu, mereka mulai berbincang satu sama lain dan Sarah merasa nyaman. Arman tampak sangat tertarik pada lukisannya dan bertanya banyak tentang proses kreatifnya.
Dari pertemuan itu, mereka mulai berteman. Arman sering mengunjungi taman yang sama dan memberi dukungan kepada Sarah. Ia membawakan buku-buku seni yang menarik untuk dibaca dan memberikan kritik yang membangun pada lukisan-lukisan Sarah. Sarah merasa seolah-olah hidupnya menemukan arah baru.
Hari-hari berlalu, dan kedekatan mereka semakin erat. Arman ternyata memiliki pemahaman yang mendalam tentang seni meskipun penampilannya tidak mencerminkan hal itu. Ia sering mengajak Sarah berjalan-jalan di tempat-tempat baru untuk mencari inspirasi. Mereka menghabiskan waktu berbicara tentang impian, harapan, dan arti seni bagi mereka.
Suatu malam, saat mereka duduk di taman yang dipenuhi cahaya bulan, Sarah menceritakan bagaimana ia merasa terjebak dalam keadaan sulit. "Kadang-kadang, aku merasa impianku hanya akan menjadi mimpi belaka," keluhnya.
Arman menatapnya, matanya penuh keyakinan. "Kamu memiliki potensi besar, Sarah. Jangan biarkan apapun menghentikanmu. Teruslah melukis, teruslah bermimpi."
Kata-kata itu menjadi mantra bagi Sarah. Ia mulai melukis lebih giat, menciptakan karya-karya yang menggambarkan harapan dan impian. Setiap goresan kuas terasa semakin berarti, dan ia merasa lebih hidup.
Meski Sarah merasa semakin dekat dengan Arman, ada rasa penasaran yang mengganjal di benaknya. Kenapa Arman memilih  berpenampilan culun? Akhirnya saat mereka duduk di taman, Sarah memberanikan diri untuk bertanya.
"Kenapa kamu tidak menunjukkan sisi yang lebih... keren dari dirimu? Kamu bisa jadi apapun yang kamu mau," tanyanya.
Arman terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Aku memilih untuk tampil sederhana. Kadang, orang lebih fokus pada penampilan daripada isi hati seseorang. Aku ingin dikenal karena apa yang aku katakan, bukan karena penampilanku."
Sarah terkesan dengan jawabannya. Dia merasa bahwa Arman lebih dari sekadar pria culun. Namun, ia tidak ingin menyelidiki lebih jauh. Keduanya tampak bahagia dalam dunia mereka yang penuh dengan seni dan mimpi.
Suatu hari, Sarah mendengar tentang kompetisi seni di kota besar. Hadiah utamanya adalah kesempatan untuk dipamerkan di galeri seni terkenal. Semangatnya membara, dan ia mulai bekerja keras untuk menyelesaikan karya terbaiknya.
Arman selalu ada di sampingnya, memberikan kritik yang membangun dan dukungan yang tak ternilai. Mereka menghabiskan malam-malam penuh dengan diskusi tentang seni, teknik melukis, dan visi mereka untuk masa depan.
Namun, saat hari pengumuman tiba, Sarah merasa cemas. Ia tahu bahwa karyanya belum sempurna dan rasa takut menghantuinya. "Bagaimana jika karyaku tidak lolos?" tanyanya pada Arman.
"Apapun hasilnya, yang penting adalah usaha yang kamu lakukan. Jangan takut untuk mengejar impianmu," jawab Arman, menepuk bahunya.
Setelah menunggu dengan penuh harapan, pengumuman datang. Sarah berhasil masuk ke dalam 10 besar! Kegembiraannya tak terlukiskan. Arman merayakannya dengan antusias, tetapi Sarah merasakan ada sesuatu yang aneh. Arman tampak lebih jarang hadir setelah itu. Saat ia berusaha mencari tahu, ia menemukan bahwa Arman sedang terlibat dalam sebuah proyek besar yang menguras tenaga. Sarah merasa terabaikan, tetapi ia berusaha memahami keadaan.
Suatu malam saat mereka bertemu, Sarah bertanya, "Apakah kamu baik-baik saja? Aku merasa kamu semakin menjauh."
Arman menghela napas. "Aku menghadapi banyak tekanan saat ini. Mungkin aku perlu waktu untuk menyelesaikan semuanya."
Ketegangan antara Sarah dan Arman semakin meningkat. Sarah merindukan kehadiran Arman yang selalu memberinya semangat. Malam itu, setelah Sarah kembali dari pameran, ia menemukan Arman duduk termenung di taman.
"Kenapa kamu terlihat begitu lelah?" tanyanya, khawatir.
Arman menatapnya, matanya menunjukkan beban yang berat. "Aku terpaksa membuat keputusan besar. Tawaran untuk menulis di luar negeri datang dan aku merasa ini adalah kesempatan yang tidak bisa aku tolak."
Hati Sarah hancur mendengar itu. "Tapi, kita baru saja mulai. Kenapa kamu harus pergi?"
Arman menjelaskan bahwa ini adalah kesempatan langka bagi karirnya. Sarah merasa bingung, marah, dan sedih sekaligus. Mereka berdua terlibat dalam perdebatan yang emosional, tetapi Arman akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut.
Malam terakhir mereka bersama di taman terasa sangat berat. Sarah merasakan kepedihan saat mereka berbicara tentang mimpi dan harapan yang masih terjalin. "Aku akan selalu mendukung impianmu, Sarah. Jangan lupakan bakatmu," kata Arman, menatap dalam-dalam. Sarah mengangguk, tetapi air mata mulai mengalir. "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya tanpamu."
Arman meraih tangannya. "Kamu kuat. Kamu bisa melakukannya. Ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan baru."
Mereka berpelukan erat dan saat perpisahan. Sarah merasakan kehilangan yang dalam akan kepergian Arman dan dunia terasa lebih sunyi tanpa kehadirannya.
Setelah kepergian Arman, Sarah merasakan kesedihan yang mendalam. Namun, ia tidak membiarkan rasa sakit itu menghentikannya. Dengan semangat yang ia dapatkan dari Arman, ia mulai berkarya lebih giat. Setiap goresan kuas terasa lebih berarti, dan ia menemukan cara untuk mengekspresikan perasaannya melalui seni.
Hari demi hari, Sarah belajar untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Karya-karyanya mulai dikenal di kalangan pecinta seni lokal, dan ia mendapat tawaran pameran di beberapa tempat. Meskipun Arman tidak di sampingnya, ia selalu merasa semangatnya hidup dalam setiap lukisan yang ia buat.
Beberapa tahun berlalu. Sarah telah menjadi pelukis yang diakui, karya-karyanya dipamerkan di galeri-galeri terkenal. Â Sampai saat sedang bersiap untuk pameran baru, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya., yaitu Arman.
Arman tampak lebih dewasa dan percaya diri. Mereka berdua tertegun sejenak sebelum saling mendekat. "Kamu sudah melakukan banyak hal," kata Arman, mengagumi karya-karya Sarah.
"Kamu juga. Aku tidak bisa melakukannya tanpa dukunganmu," jawab Sarah, tersenyum. Pertemuan itu membangkitkan kembali semua kenangan yang terpendam. Mereka berbagi cerita tentang perjalanan masing-masing dan bagaimana mimpi telah membawa mereka ke tempat yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H