Pengalaman berkesan ketika guru menerapkan restitusi ini yaitu ketika mendengar testimoni murid. Ketika guru menerapkan segitiga restitusi dengan alur yang tepat, ketika mereka berbuat salah, guru tidak menyalahkan, malah memberi rasa empati, mereka lebih nyaman ketika tidak dihakimi karena perbuatan salah mereka pasti ada alasannya, dan yang pasti, mereka akan menyadari kesalahan lalu menemukan pilihan solusinya. Itulah, alur segitiga restitusi yang terbagi tiga, menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut, terbukti bahwa restitusi untuk belajar dari kesalahan, bisa memperbaiki hubungan, sebuah tawaran bukan paksaan, dan pastinya menuntun murid untuk melihat ke dalam diri. Motivasi intrinsik yang menguatkan.
Jadi, menjadi guru yang baik bukan yang memberi reward semata karena siswanya berprestasi tetapi ada hal luhur yang harus muncul dari dalam diri yang harus digali dan digali. Berat? Pastinya! Tapi, tidak ada sesuatu yang tak mungkin bukan? Tinggal bagaimana caranya agar kita, sebagai guru bisa mengubah pemikiran atau cara pandang yang selama ini salah tapi dianggap benar.
Sudah saatnya, kita harus "Seperti katak di atas tempurung" melompat bebas meraih asa dan cita mencetak generasi muda yang memiliki semangat dan karakter Profil Pelajar Pancasila.
Lalu, siapa yang akan memulainya? Pastinya, para guru dan calon guru penggerak.
Salam guru-guru hebat!
Salam Guru Penggerak, Bergerak, Tergerak, Menggerakkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H