Kreativitas memang bukan menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, kreativitas merupakan wujud dari kecerdasan sosial yang bersifat kolektif.
Siang yang bolong. 15 Mei 2024, panas belum begitu menyengat kala saya melangkahkan kaki menuju Stadion Maladi, Sriwedari.
Ternyata, di sana telah berkumpul ratusan utusan setiap daerah dari 38 propinsi di Indonesia. Tentu saja dengan beragam pernak-pernik pakaian adat dan hasil kerajinan tangan dari berbagai penjuru tanah air.
Solo, sebuah kota kecil. Kota budaya yang sempat mengalami kehancuran. Luluh lantak. Begitu pun dengan berbagai sendi aspek kehidupan masyarakatnya. Semua bagai mati rasa.
Bagi warga Solo, 14 Mei mungkin bukan tanggal mistis. Hanya saja, kami pernah melewati masa kritis. Meskipun memang, 14 Mei 1998 bukanlah peristiwa pertama kali Solo berubah layaknya medan Kurusetra. Jauh hari sebelum itu, Surakarta telah mengalami sekian kali masa-masa tak nyaman.
Sebagai salah satu kota yang masuk dalam jejaring kota kreatif di seluruh dunia di bawah naungan UNESCO, tentu saja merupakan kehormatan besar bila Kota Solo menjadi tuan rumah perayaan HUT Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional) ke-44.
Ya, sebuah capaian besar bagi kota yang sekian lama merambat melewati masa terjatuh, terjungkal, bangkit, tiarap, klemah, kejedot, kejlungup, or whatever it is.
Namun bukan Solo bila kami tak mampu menggapai langkah maju. Berbalut kearifan lokal, kota yang sempat berlabel sebagai "kota bersumbu pendek" mendidik Solo merengkuh kembali masa gemilang.
Sluman slumun slamet. Sebuah falsafah sosial yang mungkin bagi sebagian orang bukan lagi merupa sebagai filosofi baru. Frugal living yang dijalankan oleh masyarakat Solo berabad lalu menjadikan karakter Solo menjadi tambleg, tatag.