Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Piknik Sejarah: Keraton Kasunanan, Eksotisme Budaya Jawa - Belanda

30 Juli 2024   17:58 Diperbarui: 31 Juli 2024   09:23 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bagian pendhopo Ndalem Purwadiningratan|dokumentasi pribadi 

Tapi, di sinilah uniknya. Bahwa Keraton yang telah coreng moreng, telah berada dalam situasi "ora cetha alang ujure", tidak jelas posisi politis, ekonomis, maupun sosialnya, masih dianggap berkah. Masih menjadi acuan moral, etika maupun estetika. 

(Arswendo Atmowiloto, Kitab Solo)

Matahari merayap tetap menuju ke arah barat. Kala itu halaman Kori Kamandungan belum banyak dikerumuni pengunjung. 

Waktu merangkak ke arah jam 16.00 WIB. Sisa udara siang masih bertahan. Panas. Demikian pula peluh. Perlahan mulai jatuh meluruh. 

Meskipun rasa-rasanya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kini tak nampak semoncer Pura Mangkunegaran, namun daya eksotisnya masih saja menghisap perhatian pengunjung hingga detik ini. 

Kompleks kori Kamandungan dari arah utara |dokumentasi pribadi 
Kompleks kori Kamandungan dari arah utara |dokumentasi pribadi 

Bagi para wisatawan dari dalam maupun luar kota Solo, ber-selfie ria di depan Kori Kamandungan bukanlah sebuah pemandangan aeng nan aneh.

So, do you wanna know more about the other side of The Old Palace?

Mari ikuti langkah kaki saya menyusuri jalan-jalan sunyi di dalam kampung Baluwarti. Mari kita mulai perjalanan memasuki area peradaban monarki tua. Mari meniti kembali budaya Jawa-Londo (Jalond) di jantung kota Bengawan.

Gerbang Masuk Keraton Kasunanan Surakarta

Kori Bråjånålå Lor sebelum masuk ke halaman Kori Kamandungan| dokumentasi pribadi 
Kori Bråjånålå Lor sebelum masuk ke halaman Kori Kamandungan| dokumentasi pribadi 

Deret bangunan a la kolonial masih terus bertahan di tengah bantahan era modernisasi. Dinding-dinding tinggi Art Deco berbalut tradisional Jawa merupa penanda betapa agungnya pemikiran para teknokrat kala itu.

Arsitektur bergaya Eropa begitu kental menggumpal dalam akulturasi adat Jawa di sepanjang bangunan lawas Keraton Kasunanan Surakarta.

Tentu saja, tak ketinggalan, kori; berupa gerbang besar yang dalam pengertian masyarakat Solo memiliki arti lawang, pintu. Meskipun kori hanya berwujud pintu setinggi kurang lebih 2-3 meter, namun setiap pintu masuk tersebut ternyata memiliki filosofi tersendiri.

Secara umum, terdapat beberapa tahapan menghadap Sang Sinuwun (raja). Dalam setiap tahapan tersebut menyiratkan makna: mempersiapkan jiwa dengan mantap, harus selaras antara pikiran dan keyakinan, memiliki sikap mawas diri (memantaskan diri) selurus tata nilai yang ada dalam masyarakat, serta dengan sikap tertib menghadap sang raja.

Apa pun yang terjadi, pada kenyataannya, Kori Mangu, Kori Brojonolo, Kori Kamandungan, Kori Srimanganti, as the main entrance of Kasunanan Surakarta, telah menjadi bagian dari tata nilai. Bahkan bagi sebagian kelompok sosial masyarakat tata nilai tersebut dianggap sebagai nilai-nilai yang profan. 

Sebuah peradaban yang masih menyisakan guratan ingatan: sebuah maha karya agung nan profesional dan canggih. Sebuah deskripsi simbolik dari kewibawaan, keagungan, dan ketahanan negri begitu nyata tersaji pada visualisasi relief ornamen tiga dimensi. 

Pahatan simetris di atas Kori Kamandungan bagian tengah biasa disebut sebagai RADYA LAKSANA. Diambil dari bahasa Sansekerta, "radya" yang memiliki arti lambang, sedangkan "laksana" yang bermakna sebagai "kerajaan".

Terdiri dari tiga unsur, bumi, matahari, dan bulan. Yang mana lambang kerajaan tersebut memiliki makna "manunggaling kawula Gusti". 

Salah satu lambang Radya Laksana terlihat jelas di gapura Gladag| dokumentasi pribadi 
Salah satu lambang Radya Laksana terlihat jelas di gapura Gladag| dokumentasi pribadi 

Begitu pula dengan relief di atas kori Sri Manganti, misalnya. Relief tersebut menggambarkan begitu banyak elemen-elemen keraton, namun menjadi satu kesatuan yang utuh. Pada bagian tengah relief bila kita cermat mengamati, akan terlihat lambang kerajaan Mataram. 

Relief tersebut melukiskan candra sengkala Memet yang diterjemahkan sebagai "Senjata Kasalira Rasaning Nalendra". Yang mana memiliki arti bahwa Raja haruslah dapat menghentikan pertikaian dan menciptakan kerukunan. 

Sebagaimana sastra Jawa pada umumnya, dari candra sengkalan pada relief tersebut dapat diketahui bahwa Kori Sri Manganti dibangun pada era pemerintahan Pakubuwana III. Lebih tepatnya pada tahun Jawa 1685 atau 1759 Masehi.

Bila diamati secara cermat, relief-relief di atas Kori Kamandungan maupun Kori Srimanganti mencitrakan bahwa seluruh pusaka ditata mengelilingi (melindungi), tameng (simbol negri) dan mahkota raja.

Elemen yang ada di atas Kori Kamandungan|dokumentasi pribadi 
Elemen yang ada di atas Kori Kamandungan|dokumentasi pribadi 

Perlu diingat, bahwa pada masa itu, tanda-tanda kebesaran, tanda kehormatan, maupun tata krama adalah nilai utama. 

Meskipun memang sangat menyakitkan bahwa kala itu, hanya untuk mewujudkan tata nilai tersebut, kita harus tunduk pada restu Kumpeni.

Ndalem Purwadiningratan dan Jejak Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

Tampakan samping Ndalem Purwadiningratan| dokumentasi pribadi 
Tampakan samping Ndalem Purwadiningratan| dokumentasi pribadi 

Dalam perhitungan kalender Jawa, tepat tanggal 17 Sura 1958 tahun Je atau 23 Juli 2024 yang lalu merupakan peringatan berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta. 

"Lho, bukannya berdirinya Keraton Solo itu bersamaan dengan berdirinya Kota Solo? Bulan Februari, 'kan?" begitulah tanya saya pada suatu dialog santai bersama seorang narasumber yang enggan disebutkan nama maupun gelar ningratnya.

"Lha iya, pada saat itu boyong kedaton dari Keraton Kartasura ke keraton Surakarta menurut penanggalan Jawa dilaksanakan tanggal 17 Sura 1670 atau lebih tepatnya pas bulan Februari 1745 M," ungkap beliau ringkas.

Di antara berderet keunikan keraton Kasunanan ada hal lain yang tak kalah menarik. Yaitu, salah satu Ndalem Pangeran yang selama ini belum banyak disorot massa. 

Why? Karena tidak banyak yang memahami bahwa Ndalem Pangeran yang satu ini merupakan unsur penting dalam perjalanan berdirinya Keraton Surakarta.

Ndalem Purwadiningratan. Di sinilah berdiri sebuah bangunan yang mengubah alur sejarah masyarakat Jawa. Yang jelas, pindahnya keraton dari Kartasura ke Surakarta memberikan dampak yang besar pada kota Surakarta. 

Geger Pecinan tahun 1742-1743 merupakan titik awal perpindahan Keraton dari Kartasura ke desa Sålå. Melihat kondisi keraton yang porak poranda seusai perang saat geger Pecinan, maka melalui berbagai pertimbangan pusat kekuasaan dialihkan ke Surakarta pada tahun 1745 M. 

Hal tersebut mau tidak mau memaksa Pakubuwana yang semula melawan Belanda berbalik arah, bersekutu dengan lawan bebuyutannya. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan melemahnya Mataram Islam karena harus tunduk di bawah kuasa Kumpeni Belanda.

Namun, di sisi lain, ternyata berpindahnya keraton justru sangat membantu ekonomi rakyat pada masa itu. 

Bukan hanya ekonomi, ternyata aspek seni dan budaya pun mengalami peningkatan yang pesat. Pada tahun 1745 akhirnya Pakubuwono II merampungkan berdirinya istana meskipun belum sempurna. 

Akan tetapi, ada dua tata nilai yang tersampaikan dalam proses pembangunan istana ini. Ada pola komunikasi sakti yang dijalankan oleh Pakubuwana II kala itu. Baik nilai spiritual (termasuk sejarah penamaan kampung Kedung Lumbu), sekaligus nilai praktis rasional. 

Nilai praktis rasional tercermin dengan dibayarnya ganti untung atas tanah warga. Dalam hal ini, warga dibayar atas berdirinya Keraton Surakarta.

bagian pendhopo Ndalem Purwadiningratan|dokumentasi pribadi 
bagian pendhopo Ndalem Purwadiningratan|dokumentasi pribadi 

Ndalem Purwadiningratan merupakan tempat transisi sementara ketika boyong kedaton dari Keraton Kartasura ke Keraton Surakarta pada masa Pakubuwana II. 

Boyong kedaton tidak serta merta, mak jegrek membuat Pakubuwana II langsung duduk di istana megah nan indah. Kayu-kayu jati dari Keraton Kartasura disusun sedemikian rupa menyerupai rumah tinggal bergaya Jawa dengan sentuhan sedikit aroma Belanda. 

Bahkan hingga akhir hayatnya, Kanjeng Sinuwun Pakubuwana II masih bertempat di Ndalem Purwadiningratan. Pantas saja bila di dalam Ndalem Purwadiningratan juga ada krobongan. Yaitu tempat tahta bagi Sinuwun Pakubuwana.

Meskipun begitu kuat jejak kemegahan bangunan lawas tersebut, namun ternyata tak ada kesan angker sedikit pun. Alih-alih menyeramkan. Kita akan dibius oleh suasana homy bila berada di pendopo Ndalem Pangeran yang satu ini.

Sebenarnya masih banyak kisah lain di balik dinding tinggi Ndalem Purwadiningratan yang belum banyak kita ketahui. Next time lagi, nggih.

Well, untuk sementara sampai di sini kisah kita...eh, ya ndak. Kita lanjutkan besok dengan kisah-kisah epik lainnya di balik kampung Baluwarti. Thanks buat jerih payah dan diskursus onlinenya, Mas Pongky (nama pena). 

Rahayu.

Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun