Ndalem Purwadiningratan. Di sinilah berdiri sebuah bangunan yang mengubah alur sejarah masyarakat Jawa. Yang jelas, pindahnya keraton dari Kartasura ke Surakarta memberikan dampak yang besar pada kota Surakarta.Â
Geger Pecinan tahun 1742-1743 merupakan titik awal perpindahan Keraton dari Kartasura ke desa SÃ¥lÃ¥. Melihat kondisi keraton yang porak poranda seusai perang saat geger Pecinan, maka melalui berbagai pertimbangan pusat kekuasaan dialihkan ke Surakarta pada tahun 1745 M.Â
Hal tersebut mau tidak mau memaksa Pakubuwana yang semula melawan Belanda berbalik arah, bersekutu dengan lawan bebuyutannya. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan melemahnya Mataram Islam karena harus tunduk di bawah kuasa Kumpeni Belanda.
Namun, di sisi lain, ternyata berpindahnya keraton justru sangat membantu ekonomi rakyat pada masa itu.Â
Bukan hanya ekonomi, ternyata aspek seni dan budaya pun mengalami peningkatan yang pesat. Pada tahun 1745 akhirnya Pakubuwono II merampungkan berdirinya istana meskipun belum sempurna.Â
Akan tetapi, ada dua tata nilai yang tersampaikan dalam proses pembangunan istana ini. Ada pola komunikasi sakti yang dijalankan oleh Pakubuwana II kala itu. Baik nilai spiritual (termasuk sejarah penamaan kampung Kedung Lumbu), sekaligus nilai praktis rasional.Â
Nilai praktis rasional tercermin dengan dibayarnya ganti untung atas tanah warga. Dalam hal ini, warga dibayar atas berdirinya Keraton Surakarta.
Ndalem Purwadiningratan merupakan tempat transisi sementara ketika boyong kedaton dari Keraton Kartasura ke Keraton Surakarta pada masa Pakubuwana II.Â
Boyong kedaton tidak serta merta, mak jegrek membuat Pakubuwana II langsung duduk di istana megah nan indah. Kayu-kayu jati dari Keraton Kartasura disusun sedemikian rupa menyerupai rumah tinggal bergaya Jawa dengan sentuhan sedikit aroma Belanda.Â
Bahkan hingga akhir hayatnya, Kanjeng Sinuwun Pakubuwana II masih bertempat di Ndalem Purwadiningratan. Pantas saja bila di dalam Ndalem Purwadiningratan juga ada krobongan. Yaitu tempat tahta bagi Sinuwun Pakubuwana.