Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hari Anak Nasional ala Neurosains: Krisis Kesehatan Mental Menanjak, Pedulikan Empati Anak

24 Juli 2023   19:29 Diperbarui: 25 Juli 2023   02:00 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, sebelum Kisanak melanjutkan scrolling ke bawah artikel ini dan sesegera mungkin meninggalkan vote ataukah sekadar salam hangat buat saya sorang. #halah wekekek.

Baca juga: Kecerdasan Emosi: Ingin Cerdas Berkomentar? Simak Dulu yang Satu Ini

And Guess What?

Kembali memori dalam selaput korteks saya bertingkah aing. Bukannya menggagas soal bullying atau kepribadian siswa yang menjadi agresif di sekolah, atau siswa yang kesurupan setiap kali menghadapi test mapel sains. Saya justru teringat pada komentar yang pernah saya tulis pada salah satu artikel Engkong Felix Tan. 

Jangan tanya artikel beliau yang mana. Saya ndak mau ngublek-ublek laman akun keramat. Bisa jadi saya nanti kena lumat. 

Bukan tersebab saya tersengat trauma masa lalu karena risakan Engkong. Hla wong artikel saya bisa up selama ini juga salah satu peran serta spill out Engkong dahsyat satu ini. 

Nah, bila Anda, Anda, daaaan Anda telah merasa cukup cerdas emosi alias engga baperan saya sarankan satu hal. Datangi Engkong dan minta beliau merisak artikel Anda. Niscaya dalam waktu singkat Anda akan mendapatkan hasil yang cetar membahana. Okay. Cukup sekian iklan obat cerdas dari saya. Ehladalah. Ndak. Bukan gitu, Parents.

Kay, ....balik lagi.

Saat itu saya bertanya, varian kecerdasan manakah yang sedang dibahas oleh Engkong Prof kita tercinta ini. Ya, kita semua pasti tahulah, ada 3 macam kecerdasan yang beredar di bawah kolong pemahaman perkembangan kognisi hominidae masa kiwari yang menyebut dirinya sebagai manusia. 

Hingga ratusan tahun lamanya, masyarakat kita mengukur kecerdasan kognisi berbasis memori eksplisit semantik. Memori yang diperoleh dari pengetahuan umum, tanpa harus mengalami peristiwa tertentu. Memori yang bersangkutan dengan apa, siapa, di mana.

Seperti contohnya, saya tahu pasti bahwa Lebakwana berada di Banten tanpa saya harus pergi ke sana terlebih dahulu. Begitu pula, saya paham betul bahwa 4 x 4 = 16 tanpa saya harus diminta secara langsung oleh Acek Rudy supaya menjawab kuis perkalian tersebut dengan jujur dan tulus hati. 

Wew, betapa tidak adilnya perkembangan kognisi anak bila hanya diukur melalui kemampuan memori semantik. Bagaimana dengan anak-anak yang berada pada spektrum tertentu. Yaitu mereka yang tidak mempunyai kapabilitas selayaknya perkembangan kognisi anak pada umumnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun