Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kartini: Perempuan, Keputusan Emosional, dan Gelitik Genetika

21 April 2024   19:35 Diperbarui: 22 April 2024   21:37 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kartini telah mendobrak arus dominasi dan hereditas dikotomi tugas domestikasi perempuan di masa purba.

"Karena perubahan tidak dapat dilakukan sendiri". Begitulah petikan dialog kakak Kartini dalam film Habis Gelap Terbitlah Terang.

Salah satu momentum yang selalu saya tunggu di bulan April adalah peringatan hari Kartini. Begitu banyak perempuan menunjukkan jati dirinya. Baik dengan mengenakan warna-warni baju adat, atau mengulas senyum cantik di balik aktivitas profesional mereka satu per satu.

Saya bukan termasuk esjewe feminisme. Hanya saya termasuk perempuan yang selalu tertarik pada pemikiran-pemikiran Kartini.

Andai saja Kartini dan para pahlawan pejuang kesetaraan hak perempuan dan anak-anak melihat geliat perempuan kekinian, mungkin mereka pun ikut mengurai senyum paling idealis; senyum paling mewah. 

Ya, sebuah transisi budaya tradisional kepada era yang lebih kontemporer telah mengubah wajah kaum perempuan. Terlepas dari masih tertatihnya kepercayaan publik atas stigma sosial yang masih melekat pada perempuan. 

Tak mampu dihindari, ketika kognisi manusia semakin hari semakin berkembang, manusia telah melewati episode demi episode dari alur evolusi budaya dan kognisi yang berjalan. Entah apakah kita tersadar ataupun tidak, saat ini kita benar-benar berada dalam masa revolusi industri besar-besaran.

Pemikiran dan karya yang tak kalah epik menerobos merasuki kesadaran bahwa entropi hanya mampu diminimalisir dengan berjalannya kehidupan.

Di masa inilah perempuan mulai merambah dunia yang pada masa terdahulu didominasi oleh pelaku-pelaku glorifikasi patriarki. 

Perempuan tanpa ragu merobek narasi lawas tanpa harus kehilangan titik waras. Perempuan secara anggun bergerak dari area dapur, kasur, maupun pupur (bedak) menuju mimpi-mimpi yang sempat terkubur.

Perempuan kini melaju selaras dengan sasaran ilmu sosial. Bahwa manusialah yang pada akhirnya mampu mempengaruhi kebudayaan, bukan sebaliknya. Tentu saja demi tercapainya tujuan tersebut, mekanisme yang paling relevan adalah melalui perjuangan kolaborasi dengan lawan jenis.

Baca juga: Belajar Membaca Menggunakan Otak Naluri, Neurosais Bilang Apa?

Memang, seperti kita ketahui, bahwa pada masa pemburu pengumpul, sistem pembagian tugas dalam satu keluarga inti didasarkan pada jenis kelamin. 

Di mana, perempuan diberi hak sekaligus berkewajiban untuk mengatur segala kebutuhan domestik. Seperti halnya mengatur persediaan makanan, mengawasi anak-anak, dan tugas domestik lain.

Sedang kaum lelaki mempunyai tugas untuk mencari makanan guna memenuhi kebutuhan kalori anggota keluarga. 

Pola pikir demikian menurun hingga terekam dalam memori genetik. Hingga sekarang pola pikir tersebut pernah menjadi nilai tersendiri dalam tata aturan di beberapa kelompok masyarakat. 

Hingga beberapa abad terakhir inilah domestikasi bukan lagi menjadi hegemoni yang memasung kaki dan tangan perempuan. Lompatan genetika dan pengalaman bersinggungan dengan lingkungan membuat perempuan kekinian pada umumnya tidak mau lagi terkekang tali les determinasi sosial.

Dengan berjalannya waktu, pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin di masa purba semakin hari kian bergeser. Hal ini selurus dengan pergeseran budaya dan perkembangan kognisi dari pola pikir lama kepada yabg baru. Namun demikian, hanya sedikit dari kaum lelaki mau memahami pentingnya kolaborasi ini.

Ilustrasi dalam film
Ilustrasi dalam film "Habis Gelap Terbitlah Terang" | dokumentasi brilio.net

Masih Bingung Perbedaan Antara Gender dan Jenis Kelamin?

Dalam pemilihan kosakata, seringkali saya masih menemui sebagian masyarakat awam masih bingung menggunakan kata "gender" dan "jenis kelamin".

Kita sering mendengar beberapa orang di luar sana, masih berasumsi bahwa gender memiliki makna yang sama dengan jenis kelamin. Hal ini akan menjadi rancu ketika kita berbicara di depan publik.

Sebenarnya bisa saja kita menggunakan kamus bahasa Indonesia. Itupun bila kita sedang tidak enggan menelusurinya. Namun, ada perbedaan yang cukup signifikan antara gender dengan jenis kelamin.

Gender merupakan identitas diri seseorang yang didapatkan dari pengalaman-pengalaman dalam proses tumbuh kembangnya di lingkungan sosial tempat ia bertumbuh.

Sedangkan jenis kelamin merupakan segala tampakan fisik secara biologis pada diri seseorang semenjak ia terlahir.

Tahukah Anda bila pemahaman perbedaan gender dimulai pada saat anak berusia 3 tahun?

Ya, izinkan saya menceritakan pengalaman seorang teman dalam mengasuh dua orang anaknya. Pasutri ini bersama-sama berkomitmen mengasuh putra putrinya tanpa adanya keterikatan ekspektasi gender tradisional.

Oleh orang tuanya, sang anak lelaki diberikan mainan boneka sedangkan kepada anak perempuan diberikan mainan mobil-mobilan. 

Seiring berjalannya waktu, sang putra menggunakan boneka tersebut layaknya palu, ia memukul-mukul benda-benda di sekitarnya mengunakan boneka tersebut. Sedang si anak perempuan menggunakan mobil-mobilannya seolah mobil-mobilan tersebut saling berbincang satu dengan yang lain.

Terkesan lucu,bukan? Bagi orang tuanya, ini merupakan sebuah kekalahan besar, Saudara. Hehehe....

Kemunculan preferensi terhadap mainan adalah tahap awal dari perkembangan identitas gender. Preferensi mainan yang dipengaruhi oleh gender terlihat di beberapa budaya. Bahkan dimulai pada saat anak berusia 1 tahun.

You know what? Pada rentang spektrum yang umum, rerata pada usia 2,5 hingga 3 tahun anak-anak mulai memilih mainan mana yang mereka sukai. 

Sebenarnya  anak-anak pada titik ini memiliki kecenderungan lebih kecil untuk memilih mainan "yang salah" bila dibandingkan dengan yang belum menginjak usia tersebut. 

Tentu saja, beberapa ahli neurologi menyatakan bahwa preferensi terhadap mainan hampir pasti memiliki dasar bawaan (meskipun preferensi tersebut juga dipengaruhi oleh kebudayaan).

Bahkan dalam beberapa kelompok masyarakat (terutama kelompok masyarakat agraris) didapati bahwa anak-anak di usia 3-5 tahun lebih memilih bermain bersama dengan anak-anak yang berjenis kelamin yang sama. 

Namun demikian, perilaku tersebut tidak akan dijumpai pada anak-anak penyandang sindrom congenital adrenal hyperplasia (CAH).  Di mana, ada kecacatan genetik dalam sintesis hormon adrenal, sehingga dalam tubuh mereka terpapar oleh kelebihan hormon testosteron dan androgen-androgen lain.

Meskipun pada realitanya, sering kita jumpai pula bahwa masih banyak keterlibatan pengaruh tekanan orang tua terhadap anak laki-laki. Masih banyak batasan-batasan moral dalam nilai sosial kemasyarakatan ditekankan sebagai tugas dari anak lelaki maupun perempuan. 

Batasan-batasan nilai dalam masyarakat tersebutlah yang kemudian mengesahkan pemahaman anak laki-laki pada identitas gender mereka. Perilaku inilah yang memperkuat norma gender di saat anak mengetahui identitas gender mereka. 

Nilai-nilai dalam beberapa budaya tersebut dimungkinkan telah membagi dua jenis kelamin manusia. Perempuan dan laki-laki. 

Meskipun demikian, pada tataran biologis jenis kelamin manusia memiliki spektrum yang lebih luas. Ada perempuan yang memiliki sifat maupun fisik kelelakian, ada pula laki-laki yang mempunyai ciri fisik maupun karakter yang lebih mirip perempuan. Am I right or right?

Hingga pada titik kesepahaman, bahwa bisa jadi seseorang pada masa kecilnya, preferensi mampu dikendalikan oleh pengaruh lingkungan. Meskipun demikian, sepanjang perjalanan tumbuh kembangnya ada begitu banyak peluang bagi individu untuk memperluas cakrawalanya.

Perilaku perempuan selalu berdasarkan emosi. Mitos atau fakta?

Salah satu stigma yang sangat melekat pada perempuan ada pada ranah keputusan dan perilaku berdasarkan emosi. Asumsi bahwa perilaku perempuan senantiasa berdasarkan atas keputusan yang dihasilkan oleh otak emosi mereka.

Mari kita cukil sebentar.

Memang pada beberapa kasus anak-anak perempuan mempunyai kecenderungan lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki pada saat meresponi rasa takut dan menangis.

Namun perbedaan ini tenggelam oleh keberagaman g.e.n.e.t.i.k.a pada setiap individu dalam setiap jenis kelamin. Tentu saja soal kepribadian, kita tak bisa menepikan variabel genom, bukan? Kepribadian setiap individu telah tercetak dalam blue print genom, pada kromosom 11. 

Meskipun ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam membuat keputusan berdasarkan emosi, deviasi menurut angka statistik d-prime menunjukkan nilai yang rendah. 

Artinya, bahwa perbedaan antara keputusan moral laki-laki berdasarkan keadilan sedang perempuan memutuskan moral berdasar pada hubungan (relasi) bukanlah menunjukkan bukti bahwa keputusan perempuan senantiasa dikendalikan oleh otak emosi. 

Lha wong sama-sama keputusan moral, sudah pasti berkaitan dengan sistem limbik. Dah gitu jha. Hehehe

Pada faktanya, kesetaraan hak bagi setiap individu hingga kini masih terus menjadi perdebatan. Pada realitanya, dalam budaya kita masih sangat sulit menerima pemahaman ini. 

Padahal, di negara-negara Nordik yang dituduh sebagai negara berbahagia, mereka sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Kolaborasi. Tanpa melihat preferensi jenis kelamin, identitas gender,maupun hal-hal pembeda lainnya.

Sebagai penutup, izinkan saya mengantarkan frasa:

Kartini belajar bahwa pingitan hanyalah sebuah kamar yang memasung tubuh. Sementara, pikiran yang terbebaskan mampu melampaui batas fisik dimensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun