Pohon Natal yang ada di sepanjang Jalan Jendral Sudirman bukan hanya berasal dari sumbangsih umat Nasrani di kota Solo. Bukan. Masing-masing pohon Natal hadir atas kerjasama harmonis dari lembaga keagamaan maupun institusi non religi baik dari umat Kristiani maupun non Kristiani.
Tiada lupa, pada malam-malam tertentu, di depan halaman Balaikota Surakarta mengalun indah paduan suara persembahan dari gereja-gereja di Surakarta.
Nuansa Natal pertama, hadirnya karunia besar dari Sang Pencipta luruh dalam balutan kain kasih yang hangat. Pesona cahaya langit terperangkap dalam warna-warni lampion ternyata tak hanya dinikmati oleh umat Kristiani semata. Banyak pula saudara non Kristiani yang sengaja hadir dalam riuh kehangatan Natal.
Di bawah gemerlap sinaran lampion dan pohon Natal mereka pun larut dalam nada-nada surga. Turut mengabadikan cahaya malam tanpa rasa dengki, iri, serta jauh dari ingin bermegah diri. Senyuman indah dan tawa bersama keluarga meruntuhkan tebalnya dinding perseteruan persaudaraan.
Pun tak ingin ketinggalan, binar-binar manik mata dari sepasang remaja dan muda-mudi memandang terpana pada dingin malam dan gelombang cahaya pohon terang. Mereka pun rela tertawan di bawah naungan bias sinar kerudung lampion di atas jembatan Pasar Gede. Saksi bisu cinta monyet? Hehehe. Untung tak ada rangakian daun mistletoe!
Serasa kami melupakan tingginya arogansi dominasi religi maupun genetika kekuasaan birokrasi atas hak asasi. Indahnya tiada terperi.Â
Kedalaman malam mulai bergulat dengan kelelahan tubuh kami. Belum jua usai lampion-lampion Natal terurai indah. Di samping sebelah Selatan Pasar Gede, klenteng tertua di Indonesia, Tien Kok Sie mulai merias diri.Â