Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tragedi Kanjuruhan: Gas Air Mata, Kecerdasan Emosi, dan Sebuah Ironi

4 Oktober 2022   18:20 Diperbarui: 6 Oktober 2022   10:35 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pray For Kanjuruhan. (dokumentasi pribadi by lintangayu)

Langit kelam masih membungkus janari saat notifikasi teman saya menaungi algoritma telepon seluler. Ia menyodorkan salah satu berita paling up to date malam yang lalu. Sabtu, 01 Oktober 2022. Stadion Kanjuruhan ricuh.

#Kanjuruhan ternyata telah menghiasi beranda trending topic negri burung biru. Beragam cuitan mulai memasuki otak emosi saya. Seperti biasa, saya hanya menghela nafas panjang. Melihat begitu banyak korban yang berjatuhan.

Ini memang momentum mengerikan dalam sejarah sepak bola Indonesia yang pernah saya ikuti selama ini. 

Saya tidak ingin mengurai justifikasi siapa yang benar atau salah dalam hal ini. Namun ada keterlibatan gas air mata yang sempat terlihat mengisi arena stadion Kanjuruhan malam itu. Oh, dear Lord.

Saya pun bukan ahli persenjataan nomor wahid. Hanya saja lewat Healthline.com ada beberapa zat kimiawi dalam gas air mata yang membahayakan bagi mereka yang terpapar.

Zat tersebut antara lain:

  • 2-chlorobenzalmalononitrile (CS gas)
  • oleoresin capsium (paper spray)
  • dibenzoxazepine (CR gas)
  • chloroaceptophenon (CN gas)

Dari keempat zat kimia yang merupakan komposisi gas air mata tersebut, yang biasanya terdapat dalam gas air mata adalah CS dan CN. 

Mari sedikit mengulik dari Center for Disease Control (CDC) tentang gas air mata. Efek yang dapat ditimbulkan bagi mereka yang terpapar gas air mata rerata akan merasakan gejala sensasi terbakar. Baik bila terpapar pada bagian mata, kulit, hidung, maupun pada mulut. 

Masih dari CDC, ada beberapa tanda yang dapat dipindai pada bagian tubuh yang terpapar gas air mata. 

Misalnya pada mata, akan mengeluarkan banyak air mata, mata terlihat memerah, dan akan mengalami gangguan penglihatan. Bila paparan terjadi dalam durasi yang lama, maka dapat mengakibatkan glukoma atau berakhir pada kebutaan.

Sedang pada hidung, selain gejala rasa terbakar, tanda terpapar gas air mata antara lain seperti hidung menjadi bengkak dan terus mengeluarkan cairan seperti saat kita pilek.

Apabila kulit kita yang terpapar gas air mata pada umumnya akan terjadi iritasi sehingga kulit terlihat kemerahan. 

Sungguh! Begitu berat efek dari penggunaan gas air mata bagi tubuh kita. Terlebih jika paparan menjalar ke saluran pernapasan. Pada paru-paru, akan timbul tanda seperti sesak nafas, batuk, dan wheezing (seperti pada penyandang asma). Lebih jauh lagi, jika seseorang mengalami kegagalan pada sistem pernafasan maka berujung pula pada kematian.

Apa yang dapat kita lakukan bila terpapar gas air mata?

  • Segera keluar dari area di mana gas air mata dilepaskan. Segera menjauh. 
  • Bila mata kita terkena gas air mata, sebaiknya segera basuh dengan air bersih selama 10-15 menit. 
  • Bila menggunakan lensa kontak, segeralah lepaskan lensa kontak Anda dan jangan gunakan lensa kontak tersebut. Namun, bila kaca mata Anda yang juga terkena percikan gas air mata, segeralah cuci menggunakan air bersih dan sabun. Lalu keringkan, barulah bisa dipakai kembali.
  • Begitu pula bila kulit kita yang terpapar, maka sebaiknya lekas mandi atau segera membasuh badan menggunakan air bersih dan sabun. 
  • Sedang pakaian yang terkena percikan sebaiknya segera lepas dan pastikan bungkus rapat pakaian tersebut dan alangkah baiknya tidak digunakan kembali.
  • Langkah terpenting, segeralah periksakan diri Anda ke rumah sakit atau dokter terdekat.

Berlatih Cerdas Mengelola Emosi

Sungguh! Kejadian Kanjuruhan bukan peristiwa yang pantas untuk kita anggap sepele. Gagapnya masyarakat kita memilah dan memberi diri lebih ramah pada setiap emosi, terpancar dalam insiden ini.

Pertandingan yang tadinya adalah sebuah realita intersubyektif, sebagai wadah pemersatu, kini berubah menjadi laga tanding lontar emosi antar sesama. Amarah, panik, takut, semua bercampur menjadi satu. 

Saya bukan ingin membela salah satu pihak atau menyalahkan pihak lainnya. Tapi apa yang terjadi merupakan bentuk keprihatinan pada emosi kita yang kurang terlatih.

Tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia.

Berulang kali dalam artikel saya yang lalu, selalu saya unggah urgensi kecerdasan emosi. Mungkin belum lepas dari ingatan kita bagaimana Tugu Jogja beberapa bulan yang lalu menjadi saksi bisu masyarakat kita yang masih saja sering membuat keputusan berbalut emosi. Pada akhirnya berujung kerusakan.

Melintas dalam benak saya  pada hari Minggu, 2 Oktober 2022 dini hari yang lalu. Begitu banyak ratapan mereka yang berduka. Tragedi ini pun pasti membawa beban traumatik baik bagi mereka yang selamat maupun keluarga yang ditinggalkan.

Mengulik dari American Psychological Assosiation (APA), ada salah satu bagian  otak yaitu prefrontal korteks (PFC). Bagian ini merupakan area penting  terkait dengan sistem limbik kita.

PFC merupakan bagian otak rasional yang berhubungan dengan  ekspresi emosi, pengaturan keputusan berupa perilaku sesuai norma yang berlaku, berhubungan juga dengan perencanaan, dan memori (working memory).

Pada masa anak balita hingga remaja dewasa, otak PFC mengalami proses pertumbuhan. Sama seperti pada waktu anak yang berusia 2 tahun melempar barang atau kadang memukul kita. Mereka melakukan aktivitas tersebut karena PFC mereka belum berkembang secara sempurna.

Apabila semenjak kecil PFC tidak terlatih digunakan, maka pada saat dewasa bukan hal yang aneh bila kita terbiasa menggunakan emosi sebagai respon tercepat. 

Begitu pun pada saat kita marah. Bagian amigdala segera memberikan sinyal bagi hippotalamus. Kemudian bersinergi dengan memori dan hormon adrenalin, otak motorik kita dalam hitungan nano detik akan membuat keputusan. 

Pada saat yang sama, bagian tubuh lain pun segera merespon. Jantung memompa darah dengan lebih cepat sehingga tekanan darah meninggi.

Di balik respon tubuh pada saat marah --  apapun alasannya -- tubuh kita menjadi lebih rentan pada penyakit. 

Indonesia Darurat Kecerdasan Emosi?

Selain penting bagi kesehatan fisik, mengelola emosi tentu akan melatih kita mengutamakan rasio dalam keputusan yang kita ambil.

Mari coba kita melihat lebih jauh tentang pentingnya kecerdasan emosional bagi tumbuhnya social awarness.

Menurut World Population Review: Average IQ by Country 2022 Indonesia berada pada posisi 130 dari 199 negara responden. Sementara di Asia Tenggara, Indonesia menempati kursi ke-10 diantara 11 negara Asia Tenggara.

Dari data tersebut, kita harus mengakui bahwa memang sistem pendidikan kita harus banyak dirombak. Namun dari faset lain, kita pun harus mengakui bahwa rata-rata masyarakat kita masih menggunakan sistem limbik dalam membuat keputusan. Untuk bertindak dan berperilaku masih bersandar dari emosi kita.

Memang bukan soal yang mudah, bila kita bicara tentang berlatih. Butuh proses. Dan memang bukan perkara yang menyenangkan dalam melatih diri memperlambat kinerja otak emosi kita. 

Berlatih memilah manakah kepentingan privasi dan kepentingan publik. Berlatih memberi jeda pada diri sendiri selama 10-15 detik untuk tidak segera merespon dengan cepat atas sebuah informasi dan berita. Berlatih untuk memelihara self awarness kita. Berlatih berempati.

Lebih jauh, Dr. Paul J. Eslinger berpendapat bahwa empati merujuk pada kemampuan kognisi dan emosi yang mempersatukan orang-orang dalam setiap relasi dimana setiap individu saling berbagi pengalaman dan saling memahami satu dengan yang lain.

Seiring dengan perbaikan sistem pelaksanaan kegiatan persepakbolaan ataupun sistem apa pun yang seringkali bersentuhan dengan kehidupan kita, mari kita belajar supaya tetap sadar.

Kanjuruhan. Mungkin tragedi tersebut meninggalkan luka dalam ingatan. Luka mendalam bagi kita bersama. Sebuah trauma yang membutuhkan proses panjang untuk melepas sebuah ikhlas. 

10% of conflicts is due to the difference in opinion and 90% is due to delivery and tone of voice (Unknown)

Salam sehat, salam sadar

Penulis

*Sumber: Eslinger, P. J, Neurological and Neuropsychological Based on Empathy, European Neurologi (Februari 1998)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun