Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Quiet Quitting: Memahami Kesehatan Mental ala Neurosains

6 September 2022   11:42 Diperbarui: 7 September 2022   12:52 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita belajar beradaptasi dari pengalaman hidup kita sendiri. Apa yang kemudian dipahami dan diyakini sebagai pemahaman baru dalam hidup seseorang merupakan keputusan yang kita buat. Meskipun semua fakta dan bukti baru tidak dengan segera mengubah hidup seseorang.

Manfaat Quiet Quitting bagi Kinerja Karyawan

Jujurly saya pun pernah berada dalam situasi ini. Saat malam atau pada saat hari libur kerja, notifikasi pekerjaan via telepon seluler tak jua berhenti. Ya, meskipun saya sudah mengalihkannya pada mode diam.

Pada kondisi normal, saya membutuhkan waktu tidur selama lima jam dalam satu hari. Karena mobilitas saya tinggi beberapa saat yang lalu, maka saya hanya memiliki dua jam tidur selama dua hari berturut-turut. Ini betul-betul menguras energi saya.

Tahukah kejadian di esok harinya? Segala bentuk makanan tidak dapat masuk ke dalam lambung saya. Asam lambung saya naik? Yups. Stress menghinggapi saya. Tubuh saya tidak mampu mengolah makanan sama seperti biasanya. Gejala psikosomatis memberikan alarm, sinyal agar saya rehat.

Hayooo ada yang ngerasa relate ga dengan kondisi tersebut?

Kaum milenial dan generasi Z merupakan generasi yang mengalami disrupsi digital. Terlebih selama badai pandemi kemarin hampir 80-90 persen aktivitas dan mobilitas relasi sosial kita lakukan melalui kontak digital. 

Derasnya arus teknologi informasi rupa-rupanya membawa dampak angin segar bagi meleknya kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara kesehatan secara holistik. 

Meskipun perlu kita akui juga bahwa dibalik progres tersebut menumpuk bejibun dampak negatif yang menjelma menjadi stigma baru. Sehingga muncul beraneka opini yang mencoba hadir sebagai simplifikasi solusi bagi beragam pertanyaan mengganjal di masyarakat.

Nah, kembali lagi pada fenomena hustle culture versus quiet quitting.

Timbulnya kelelahan mental dan kebosanan kemudian memicu kaum milenial dan generasi Z melakukan quiet quitting. Mengerjakan pekerjaan yang cukup pada porsinya saja. Tidak usah terlampau memaksa diri sendiri. Tidak lebih dan tidak kurang. Pulang pada jam yang telah ditentukan.

World Health Organization (WHO) pada tahun 2019 secara resmi menyatakan bahwa burnout merupakan sebuah fenomena dalam pekerjaan. Bukan merupakan gangguan mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun