Ah, tetapi naiknya harga mie instan sepertinya bukan penghadang mimpi kami meraih prestasi. Buktinya, selain mie instan masih banyak kebutuhan kami yang semakin meninggi.
Seperti halnya uang UKT adek mahasiswa. Setiap tahun besarannya seakan senantiasa berajojing ria.Â
Belum lagi masalah harga kuota data. Di jaman disrupsi digital ini kuota data sungguh menopang keseharian kita. Iye lagi, kan?
Nah,...
Ternyata keyakinan dan ekspektasi masa depan anak kosan kembali teruji dengan wacana naiknya harga mie instan.Â
Sebenarnya kenaikan harga mie instan ikut membuktikan bahwa sebagai masyarakat penggemar mie instan kita adalah masyarakat kreatif. Sama seperti adek-adek maba, mahasiswa baru yang mulai jam 6:30 harus mengikuti apel pagi di kampus.
Keributan mulai terdengar di dapur kosan sejak pukul 04:50 WIB. Dapur kosan alias kamar sebelah. Maklum dapur kosan milik bersama ada di sebelah. Bikin sarapan? Oh, tentu tidak. Adek Maba harus belajar memasak makanan absurd yang diminta panitia Ospek kampusnya.
Mie instan? Gak mungkin. Kemarin ada adek Maba yang diminta membawa lunch dari olahan kacang tanah dan wortel. Aduh. Ini sebenarnya ada apa dengan Ospek?
Padahal mie instan jauh lebih mudah dibuat. Secara, mie instan juga lebih mendekati limit real life mahasiswa di tanggal tua tanpa kerja sampingan.Â
Iye ga sih? Ayok anak kosan peserta partai pecinta mie instan, angkat tanganmu skali lagi kawan. Patutlah kita bersyukur, harga mie instan ga jadi naik tiga kali lipat. Coba bayangpun, kalau jadi naik mungkin kita bakalan makan singkong rebus lauk keripik singkong. Itu kalau harga singkong ga ikutan naik juga. Iye kan? Iye kan?Â
Emh....iye gak si? Ah yaudala. Kita nikmati saja semua apa adanya. Yang belum ada mari upayakan supaya ada. Toh juga wacana tersebut dibatalkan.Â