Aransemen seniman wahid, jujurly, membuat penonton yang didominasi oleh kaum muda bergemuruh hebat kala itu. Kekaguman yang tiada habis mencekat lidah dan debar jantung saya yang semakin mendebat. Berdebat dengan paruh malam yang kian mendingin.
Andai saja almarhum bapak saya masih hidup, oh ini sunguh fusion music yang begitu kami rindukan berdua. Pelan dan pasti saya terbawa kembali saat kaset-kaset bapak memutar suara Sundari Soekotjo, Waljinah, dan Mus Mulyadi.
Sebagian dari alenia ini pun saya susun sembari menikmati merdunya Bohemian Rhapsody ala Voca Erudita UNS. Gelombang algoritma malam benar-benar membius kami, sejurus dengan jemari saya mengeja kalimat demi kalimat pada artikel ini.
Dan ya. Berjibaku dengan malam berawan, bergelut dengan angin yang menggoda lembut helai-helai rambut, kami akan menyimpan peristiwa alun musik indah ini.
Terima kasih telah menghadirkannya bagi kami, Solo. Terima kasih untuk warisan yang kami terima. Berharap kami mampu mengembangkannya. Berharap kami mampu menghadirkannya bagi anak cucu kami berikutnya. Berharap, keroncong tetap jaya di bumi Indonesia.
Selamat berjumpa kembali di Solo Keroncong Festival satu tahun yang akan datang.
Salam keroncong dari Kota Bengawan,
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H