Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Belajar Menghidupi Maaf dari Phan Thi Kim Phuc

9 Juni 2022   07:00 Diperbarui: 9 Juni 2022   17:23 1584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: berpelukan untuk saling mengampuni | via unsplash @ erica giraud

Yap! Kali ini saya memang sengaja menganggit artikel tentang makna maaf. Terlambatkah karena Lebaran telah lewat? Maafkan saya, Kawan. 

But let's check this out. Seberapa banyak dari kita dalam sehari tidak berbuat kesalahan? Yang bisa melakukannya, boleh mengangkat tangan. Tenang, saya dan pembaca yang lain juga tidak akan tahu bilamana Anda mengangkat tangan atau tidacks. I'm kidding anyway. 

So, apa menu kita hari ini? Sederhana. Tentang "maaf". Sebelum berlanjut, maka izinkan saya berbagi sedikit cerita. 

Pada saat berlangsung perang Vietnam, nama Phan Thi Kim Phuc (Napalm Girl) mencuat lewat gambarnya yang diambil oleh fotografer Nick Ut.

Dalam gambar tersebut Kim yang kala itu sedang berusia 9 tahun berlari dengan tubuh penuh luka bakar terkena bom napalm. Meski menuai banyak kontroversial, namun pada akhirnya gambar itu kemudian memenangkan hadiah Pulitzer. 

Narasi tentang Kim yang lain adalah ketika ia bertemu dengan pilot yang kala itu menjatuhkan bom di desa di mana Kim tinggal. Trang Bang. 

Apa yang dikatakan Kim pada John Plummer Sang Komandan AS yang memerintahkan pengeboman di Trang Bang di kala itu sangatlah menyentuh. Kim memeluk John yang secara emosional sangat terpukul dengan kejadian tersebut. (baca di sini) 

Tapi, dari peristiwa ini saya pun belajar. Bukankah dalam hidup sehari-hari kita juga tak luput dari hal yang sama? Membuat kesalahan lalu berupaya membetulkannya. Atau mungkin kita masih menyimpan rasa sakit dari orang lain yang mengecewakan kita. 

Ketika seseorang membuat kita kecewa, maka amigdala akan merekam emosi marah. Sedang emosi marah seseorang membawa banyak pesan. 

Bisa jadi dalam kemarahannya, seseorang tersebut justru sedang bersedih. Terkadang marah pun digunakan untuk menyatakan bahwa telah terjadi sebuah ketidakadilan dalam peristiwa hidupnya. 

Apa yang terjadi pada tubuh saat kita mendendam? 

Otak kita bekerja dengan begitu sempurna. Bekerja supaya setiap kita mampu bertahan hidup. 

Pada masa evolusinya, sistem syaraf manusia mempunyai kesamaan dengan beberapa primata maupun mamalia. Seperti ikan lumba-lumba, simpanse, orang utan, bonobo dan lain sebagainya. 

Binatang-binatang tersebut pada umumnya memiliki kesadaran diri. Sadar akan keberadaannya. Begitu pula dengan manusia. Pada umumnya, kita mempunyai kesadaran akan keberadaan kita. 

Ketika kita mempunyai kesadaran akan keberadaan kita, maka ada potensi bagi kita untuk mengalami penderitaan. Orang yang menderita ataupun yang membuat orang lain menderita rerata belum mempunyai kecerdasan emosi. 

Wow, pahit sekali kenyataan ini. Bagaimana ketika Anda membaca kalimat saya di atas? Mengerutkan dahi? Langsung membatin atau bahkan berucap, "Mosok sih?" Ya, tidak mengapa. Memang begitulah cara kerja otak kita. 

Kita lebih senang menerima segala sesuatu yang membuat kita nyaman atau terhibur. Kita bahkan tidak membutuhkan validasi apakah sesuatu tersebut adalah hal yang benar atau salah. 

Bagaimana bila kita dihadapkan dengan fakta atau realita yang membuat kita tidak nyaman? Tentu saja secepat kilat kita akan berupaya menolaknya. Meskipun kejadian tersebut telah lama berlalu. Namun seringkali kita masih dapat merasakan betapa menyakitkan pengalaman tersebut.

Pada saat stimulan atau informasi datang lalu menyebabkan rasa yang tidak nyaman, maka amigdala akan merekamnya. Sehingga ketika datang peristiwa yang lain yang kita persepsikan sebagai sebuah ancaman yang sama, maka amigdala akan segera memberikan alarm. Sebuah sinyal kepada tubuh untuk waspada. 

Aktivitas seperti itu adalah wajar karena naluri kita berfungsi supaya membantu kita bertahan hidup. Sama seperti pada zaman pra sejarah, manusia menggunakan kewaspadaan tersebut untuk mempertahankan hidup mereka semaksimal mungkin. 

Bagaimana bila kita menjadi pendendam? Apakah berarti perilaku tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah kewajaran? 

"an eye for an eye leaves everybody blind" (Martin Luther King Jr.)

Sebuah studi dilakukan di Swiss ketika 14 orang dipersilakan melakukan sebuah permainan bisnis dengan membebaskan setiap pemainnya melakukan kecurangan.

Dari studi tersebut terungkap bahwa terjadi peningkatan aktivitas pada dorsal striatum ketika seorang pemain berhasil memberi hukuman pada pemain lain yang melakukan kecurangan. 

Dorsal striatum merupakan bagian otak yang salah satu fungsinya adalah sebagai penerima rangsangan terhadap penghargaan. Aktivitas bagian otak 'pusat kesenangan' tersebut akan terpicu bukan hanya dari penghargaan melainkan juga oleh permusuhan. 

Dari studi tersebut pula terungkap fakta bahwa seseorang akan rela memberikan kebahagiaannya hanya demi menghukum orang lain yang telah berlaku tidak baik terhadapnya. 

Pada saat seseorang melakukan dendam maka ia akan melibatkan memori dan imajinasinya. Kondisi otak seseorang yang membalas dendam akan berelaksasi. Apakah ini adalah hal yang baik bagi tubuh kita? 

TIDAK! 

Mengapa? Karena fungsi otak kita adalah untuk beraktivitas supaya kita dapat bertahan hidup selama mungkin. Bayangkan saja, bila otak kita berelaksasi terlalu lama. Maka tak ayal bila seseorang yang menyimpan dendam hanya akan mendatangkan penderitaan. Bahkan akan mengundang  penyakit seperti hipertensi, jantung koroner, diabetes, dan masih banyak lagi. 

Seseorang yang menyimpan dendam tidak dapat menyadari bahwa kejadian atau peristiwa pemicu dendam telah terjadi pada masa silam. Ini terjadi karena pada otak manusia pendendam tidak dapat membedakan waktu dulu, kini, maupun yang akan datang. 

Selain Berpotensi sebagai Korban, Kita pun Berpotensi Menjadi Pelaku

Ya, saya paham. Dikecewakan orang lain, terlebih orang terdekat kita memang sangat menyakitkan. Akan tetapi perlu diingat bahwa kita sebagai korban pun akan berpotensi menjadi pelaku di suatu hari nanti. 

Dengan menyadari bahwa ketika kita membuat salah adalah hal yang manusiawi, maka manusiawi pula ketika kita meminta maaf pada orang yang telah kita kecewakan. Meminta maaf tidak akan sedikit pun menurunkan nilai diri kita. 

Saya pernah terlibat dalam kerja tim untuk sebuah acara kantor. Dalam acara tersebut tanpa saya duga, koordinator saya tetiba menegur salah seorang rekan saya di hadapan forum dengan cara yang kurang santun. 

Hampir saja rekan saya berhenti dari tugas kepanitiaannya. Namun, ketika saya menghampiri untuk menyampaikan permintaan maaf, ia berbesar hati untuk kembali bergabung dalam event yang sedang berlangsung. 

Mengapa saya harus meminta maaf? Bukankah saya bukan pelakunya? Pada saat itu saya disadarkan bahwa permintaan maaf akan mendatangkan kesejahteraan dan penghiburan bagi si korban. Asalkan kita sampaikan dengan cara yang tepat. 

Berikut adalah sekelumit cara yang pernah saya pelajari dari seorang Guru. Izinkan kali ini saya membagikannya di sini. Saya tahu ini berhasil saya gunakan. Monggo saja bila ingin menggunakannya juga. 

#1 Menyampaikan permintaan maaf dilakukan dengan tulus. Kita bisa mengatakan secara spesifik kesalahan apa yang telah kita lakukan kepada korban. 

Hindarilah penggunaan kalimat yang terkesan asal-asalan. Alih-alih kita berucap, "ya udah, udah aku minta maaf." 

Kita dapat menggantikannya dengan, "aku minta maaf telah merusak vas bunga pemberian ibumu."

#2 Sampaikan permintaan maaf kita tanpa harus disertai dengan segala kerumitan penjelasan kita. Terlebih dengan penjelasan panjang lebar yang menjadi pembelaan atas kesalahan yang telah kita buat. 

Andai saat itu si korban yang meminta penjelasan, maka kita dapat melakukannya tanpa mengada-ada. Jelaskan apa adanya. Atau kita dapat menunggu waktu yang tepat seusai emosi marahnya lerem, baru kita berikan penjelasan. 

#3 Alangkah lebih baik bila permintaan maaf sebagai rasa penyesalan kita sertai dengan kompensasi sebagai rasa tanggung jawab atas kesalahan kita. 

"Apa yang bisa kulakukan untuk memperbaiki semua?"

Mungkin apa yang saya sampaikan ini sangat sederhana. Mungkin juga tidak seru. Namun, saya harap kita mampu berlatih untuk saling berempati, mempunyai kesadaran diri penuh, sebagai pilar kecerdasan emosi kita. 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

*sumber: 1, American Psychology Association

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun