Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Memori Manusia: Ternyata Ada Fakta dalam Mitos Otak Kiri dan Otak Kanan

30 Mei 2022   10:18 Diperbarui: 3 Juni 2022   01:34 2030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: anak-anak sedang belajar | via unsplash @CDC

Terima kasih masih selalu bersama dengan saya. Artikel ini saya anggit sebagai artikel lanjutan sebagaimana saya sampaikan dalam artikel saya sebelumnya. 

Usai menilik dan menyoroti upaya Gardner dengan 9 kategori kecerdasan anak, maka kali ini saya juga akan membagikan sepenggal kisah mengenai kecerdasan berkaitan dengan memori kita. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa perkembangan kognitif anak berlangsung dengan sangat menakjubkan. Dibarengi dengan kemampuan tiap anak, lingkungan  dan orang tua membentuk pertumbuhan kognitif seorang individu. 

Melihat pemahaman mengenai perkembangan otak kognitif, maka tak ada salahnya kali ini kita mengurai apa sebenarnya yang terjadi pada otak bagian kiri dan kanan. 

Pengertian yang banyak beredar di antara masyarakat adalah menyoal kinerja otak kanan dan otak kiri secara terpisah. Timbul pemahaman bahwa mereka yang berprofesi dalam bidang sains selalu menggunakan otak kanan. Sedang mereka yang berkarya dalam bidang kesenian menanggalkan fungsi otak kiri. 

Sedangkan pada para desainer baju, otak bagian kiri sajalah yang harus dioptimalkan kinerjanya. Apakah benar demikian? 

Okay, markicek. Mari kita cek, Saudara. 

Kemampuan Kognitif Kita Bergantung Pada Otak Kiri dan Otak Kanan. Betul? 

Masifnya informasi yang simpang siur seringkali membuat kita salah dalam memahami kinerja otak kanan dan kiri. Ups! 

Beratus tahun lamanya, kita memercayai pemahaman bahwa otak kita yang sebelah kanan dan kiri bekerja secara terpisah. Dengan fungsi yang berbeda, bagian-bagian tersebut bekerja tidak saling mendukung. 

Pada periode tahun 1860 hingga tahun 1870-an para ahli bedah saraf menemukan adanya aktivitas tertentu pada bagian otak sebelah kanan. 

Dua penemuan penting tersebut adalah penemuan area broca dan area wernicke. Yaitu dua bagian otak yang terletak pada sebelah kanan, yang mengatur kemampuan kita dalam berbahasa secara verbal. 

Kemudian pada tahun 1970-an Roger W. Sperry seorang ahli neuropsikologi memunculkan  fakta baru. Lewat penelitiannya pada seorang pasien penderita epilepsi yang korpus kalossumnya terbelah menjadi dua bagian. 

Lewat studinya tersebut, Sperry menemukan fakta bahwa dua bagian otak kita, yaitu otak kanan dan otak kiri mempunyai dua fungsi yang berbeda. Lalu dengan dasar penemuan tersebut timbul pemahaman mengenai pemisahan kerja fungsi otak kanan dan kiri. 

Penelitian yang dilakukan oleh Sperry atas pasien epilepsi yang dipotong bagian korpus kalosumnya tersebut memunculkan fakta bahwa kemampuan bahasa dan logika manusia cenderung dikendalikan oleh otak kiri. Sedangkan kemampuan menangkap pola dan visual cenderung dikendalikan oleh otak kanan. 

Dominasi tugas untuk memahami segala sesuatu yang rumit merupakan fungsi dari otak sebelah kiri. Sedangkan untuk menangkap dan memvisualisasikan gambar merupakan tugas otak kanan. 

Apakah itu hoaks atau fakta? Kalau memang Teori Otak Kiri dan Kanan itu adalah mitos, lalu bagaimana faktanya? 

Memang adalah fakta, bahwa struktur otak kita terdiri dari berbagai bagian. Di mana setiap bagian mempunyai tugas masing-masing. 

Adalah benar pula bahwa tugas untuk gerak motorik halus, menguraikan hal-hal yang rumit seperti sintaksis bahasa, gramatikal, maupun segala yang berkaitan dengan matematika adalah tanggung jawab otak kanan. 

Dan adalah benar, bila otak sebelah kiri bertanggung jawab pada pengaturan pola visual, seni. 

Coba perhatikan dahulu. Sebagaimana sifat budaya, maka sains pun mempunyai sifat dinamis. Pada perkembangannya, sains, dalam hal ini neurosains dan neurologi selalu memunculkan kebenaran baru. Dengan demikian, fakta baru tersebut mematahkan fakta-fakta lama. 

Banyak ahli dalam perkembangan kognitif pun berpacu dengan kemajuan teknologi dan informasi. Demikian pula pemahaman mengenai dikotomi otak kanan dan otak kiri. 

Salah satu ilmuwan neurologis dari Universitas Utah, Jeffrey Anderson telah mengungkap realita baru. Melalui riset yang ia lakukan atas 1000 responden, ditemukan fakta bahwa intensitas aktivitas salah satu bagian otak akan meninggi hanya bila dalam kondisi tertentu saja. 

Anderson mengatakan bahwa pada dasarnya setiap bagian otak kita akan bekerja secara simultan. Otak kita akan bekerja sama dalam membuahkan respon terhadap setiap stimulus atau informasi yang datang. 

Saya jadi ingat, pada sebuah pesan percakapan WAG, Engkong Felix tetiba mengirimkan tautan dari salah satu media jejaring sosial. Well, Mauliate Engkong. Sangat menginspirasi. 

Seorang dokter muda sedang mengikuti audisi sebuah ajang pencarian bakat di Amerika. Dokter tersebut sangat piawai menyanyikan salah satu lagu Beyonce, Listen. 

Yang terpikirkan dalam korteks saya saat itu adalah bagaimana dokter muda ini menggunakan otak kirinya ketika bernyanyi. 

Bagaimana ia mengatur artikulasi dan pelafalan dari tiap lirik lagu dengan benar melalui otak kirinya. Pada saat yang sama ia pun menggunakan otak hemisfer kanan untuk mengenali pola mendengar nada. 

Dengan demikian ia mampu tampil dengan sempurna pada saat menyanyikan lagu tersebut. Tentu saja, ia pasti menggunakan otak amygdala untuk mengatur emosi supaya tampil lebih sempurna. 

Bagaimana? Masih ingin mengoptimalkan kerja otak di bagian tertentu saja? 

Korelasi Antara Memori dan Kecerdasan 

Apa? Apa hubungannya? 

Di waktu yang lalu jagat maya sempat geger dengan tema pilih sekolah swasta atau negeri? Di republik Twitter banyak bersliweran cuitan jempol menyoal beda kualitas sekolah swasta dan negeri. 

Alih-alih ikut meramaikan opini mana yang paling baik, saya justru teringat pada dua macam memori. 

Mengintip sedikit dari American Psychological Association, memori manusia terbagi ke dalam 2 kategori. 

Yaitu memori implisit, memori yang didasarkan pada pengalaman masa lalu, kemudian karena dilatih secara berulang sehingga menjadi habitual action, kebiasaan. Seperti makan, minum, berjalan, bersepeda, bermain bola, dan sebagainya. 

Sedang yang kedua yaitu memori eksplisit. Dibagi menjadi tiga: working memory (kita akan ulas di lain kesempatan), episodic memory (sudah kita bahas pada artikel saya yang lalu tentang recalling memory), dan semantic memory. 

Apa yang kita gunakan selama ini dalam kegiatan belajar adalah memori semantik. Yaitu memori berdasar pengalaman yang berkaitan dengan pengetahuan hafalan maupun aktivitas berhitung secara numerik. 

Seperti, misalnya 3 x 4 = 12 kita tahu ini karena dulu pernah kita hafalkan. Atau ibu kota propinsi Jawa Tengah adalah Semarang. Ini kita hafalkan. Kita mengetahuinya tanpa harus datang ke Semarang terlebih dahulu. 

Itu bukan hal yang salah. Akan sangat berguna bagi kita belajar tentang ilmu pengetahuan tersebut. 

Namun, coba kita cermati, apa yang kemudian terjadi? Banyak anak-anak yang tidak mempunyai kemampuan untuk menghafal atau berhitung dengan segera diberi label tidak cerdas. Wadidaw, pak, buk, ayah, ibu, tante, ohm.

Sementara itu, anak-anak bertumbuh dengan kemampuan mereka masing-masing. Kapasitas otak kita tidak menentukan daya kreativitas kita. 

Akan menjadi tidak adil bila kemudian anak-anak yang berprestasi dalam bidang seni atau olahraga kemudian dikatakan tidak cerdas. Betul? Ingat, otak kita bekerja secara simultan. Bersama. Otak kiri dan kanan. 

Maka jangan heran bila anak-anak yang dulu berprestasi dalam berhitung atau menghafal belum tentu menjadi orang sukses di kemudian hari. Ya, ndak? 

Aktivitas kita sehari-hari jauh lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas memori implisit. Memori ini lebih banyak menggunakan otak emosi kita. Berlatih mendayagunakan memori implisit ternyata akan jauh berdampak baik bagi kecerdasan sosial kita. 

Seperti bagaimana kita menumbuhkan empati melalui budaya antre. Atau bagaimana kita berlatih untuk memberi batas pada privasi orang lain. Akan jauh lebih berguna bagi kita dan generasi sesudah kita, bukan? 

Baca juga : Begini Cara Efektif Menumbuhkan Budaya Antre pada Anak-anak

Duh sudah terlampau panjang saya menyampah di laman ini. Semoga tidak membosankan, ya. 

Selamat menikmati proses kognitif kita. Selamat melatih diri kita secara utuh. 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

*Sumber: 1, American Psychological Association. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun