Mengintip sedikit dari American Psychological Association, memori manusia terbagi ke dalam 2 kategori.Â
Yaitu memori implisit, memori yang didasarkan pada pengalaman masa lalu, kemudian karena dilatih secara berulang sehingga menjadi habitual action, kebiasaan. Seperti makan, minum, berjalan, bersepeda, bermain bola, dan sebagainya.Â
Sedang yang kedua yaitu memori eksplisit. Dibagi menjadi tiga: working memory (kita akan ulas di lain kesempatan), episodic memory (sudah kita bahas pada artikel saya yang lalu tentang recalling memory), dan semantic memory.Â
Apa yang kita gunakan selama ini dalam kegiatan belajar adalah memori semantik. Yaitu memori berdasar pengalaman yang berkaitan dengan pengetahuan hafalan maupun aktivitas berhitung secara numerik.Â
Seperti, misalnya 3 x 4 = 12 kita tahu ini karena dulu pernah kita hafalkan. Atau ibu kota propinsi Jawa Tengah adalah Semarang. Ini kita hafalkan. Kita mengetahuinya tanpa harus datang ke Semarang terlebih dahulu.Â
Itu bukan hal yang salah. Akan sangat berguna bagi kita belajar tentang ilmu pengetahuan tersebut.Â
Namun, coba kita cermati, apa yang kemudian terjadi? Banyak anak-anak yang tidak mempunyai kemampuan untuk menghafal atau berhitung dengan segera diberi label tidak cerdas. Wadidaw, pak, buk, ayah, ibu, tante, ohm.
Sementara itu, anak-anak bertumbuh dengan kemampuan mereka masing-masing. Kapasitas otak kita tidak menentukan daya kreativitas kita.Â
Akan menjadi tidak adil bila kemudian anak-anak yang berprestasi dalam bidang seni atau olahraga kemudian dikatakan tidak cerdas. Betul? Ingat, otak kita bekerja secara simultan. Bersama. Otak kiri dan kanan.Â
Maka jangan heran bila anak-anak yang dulu berprestasi dalam berhitung atau menghafal belum tentu menjadi orang sukses di kemudian hari. Ya, ndak?Â
Aktivitas kita sehari-hari jauh lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas memori implisit. Memori ini lebih banyak menggunakan otak emosi kita. Berlatih mendayagunakan memori implisit ternyata akan jauh berdampak baik bagi kecerdasan sosial kita.Â