Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Juvenile Delinquency: Kenakalan Remaja dalam Fenomena Klitih

7 April 2022   18:30 Diperbarui: 8 April 2022   10:55 2591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya (diproses hukum meski pelaku anak-anak). Anak ini (melakukan tindak) pidana ya (karena korban) sampai meninggal,"

Demikian tegas Sri Sultan Hamengku Buwono kepada aparat hukum menyikapi klitih yang kembali meresahkan warga dilansir dari kompas.com. 

Terlepas dari anggapan bahwa kasus klitih kembali menjadi viral karena korban adalah putra petinggi daerah. Reaksi Sri Sultan bisa jadi merupakan simbol kegeraman warga saat menghadapi fenomena yang sangat meresahkan masyarakat tersebut.

Informasi terakhir dari beragam media pun akhirnya menyiarkan solusi aparat penegak hukum dalam kasus kali ini berkisar pada pergantian istilah klitih. 

Bagi masyarakat awam, tentu saja solusi tersebut bukan jawaban yang diharapkan. Alih-alih jawaban, keputusan penegak hukum tersebut ditengarai merupakan solusi yang bersifat non substansial. Bahkan ada pemahaman yang mengalir di tengah arus kejenuhan masyarakat, solusi tersebut adalah tindak ignorance negara terhadap kasus klitih.

Tak dapat dipungkiri bahwa perilaku yang oleh sebagian masyarakat dinilai sebagai tindak kenakalan remaja telah mengalami proses translasi. Kualitas nilai dari kenakalan remaja kini telah bergeser menjadi tindak pidana. 

Kenakalan remaja bukan lagi merambah pada masalah bolos sekolah, merokok, atau menggunakan kata-kata kasar kepada orang yang lebih dewasa, atau minggat dari rumah orangtua. No. 

Tindak kenakalan remaja oleh para pemerhati perkembangan pendidikan dan karakter anak telah dinilai mengalami pergeseran kualitas. Kita dapat melihat dari tindakan mencuri, tawuran, membegal, memperkosa, hingga membunuh. Tindakan tersebut dinilai telah memasuki ranah tindak kriminalitas.

Remaja Adalah Fase yang Berbahaya

Bagi remaja, tindakan penyimpangan terhadap norma hukum tersebut merupakan tindakan yang mendatangkan kesenangan. Kegembiraan. Kebanggaan. 

Merupakan sebuah cara bagaimana mereka menunjukkan aktualisasi dan penghargaan dari kelompok lain atau dari lingkungan di mana si remaja tersebut beraktivitas.

Tindak kriminal yang kemudian disebut sebagai street crime, kejahatan jalanan tersebut mengundang suatu gejolak sosial yang bersifat distruktif.

Bagi kita orang dewasa fenomena ini adalah hal yang meresahkan sekaligus memprihatinkan. 

Apabila dilihat dari sisi fisiologis kognitif remaja pada rentang usia 12-22 tahun mengalami perkembangan tahap ke-2, dimana bagian otak pre frontal cortex sedang berada pada masa pematangannya. 

Salah satu fungsi dari bagian lobus ini adalah sebagai tempat proses berpikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah. Pada kondisi matang, bagian otak inilah yang berfungsi pada individu dewasa untuk berpikir secara rasional.

Karena proses pematangan tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang, maka remaja pada umumnya lebih mengedepankan emosi dalam membuat keputusan. 

Dengan demikian, bila dilihat dari sisi fisiologi tindak kenakalan remaja yang muncul karena ingin mendapatkan seberkas rasa senang dan gembira bukan merupakan hal yang aneh. Apakah fakta ini kemudian menjadi "payung" bagi remaja dalam melakukan tindak pidana?

Demikian pula, usia remaja adalah masa di mana individu cenderung resisten terhadap peraturan yang ada. Sehingga para ahli sering menyatakan bahwa saat remaja merupakan masa "pemberontakan".

Pada masa ini, individu menarik diri dari lingkungan keluarga dan mencari ruang lain guna menjawab tugas sosialnya yaitu mencari identitas diri pada lingkungan di luar dirinya. Maka tak ayal, dalam banyak hal remaja lebih sering melakukan pemberontakan terhadap anggota keluarga. 

Bagi kita yang menjadi bagian dari sistem dalam sebuah masyarakat mungkin bukan hanya risih. Kita bahkan sangat prihatin dengan kondisi remaja kekinian.

Apakah itu Juvenile Delinquency (Kenakalan Remaja)? 

Juvenile delinquency, merupakan sebuah perilaku kenakalan remaja yang bila dilakukan oleh orang dewasa dianggap sebagai tindak kriminal dan pantas untuk dijatuhi hukuman sesuai hukum pidana yang berlaku. 

Fenomena juvenile delinquency ini mungkin bukan hanya terjadi di Kota Pelajar. Barangkali di daerah lain pun terjadi tindak kenakalan remaja. Meskipun tidak mendapat highlight khusus oleh media massa. 

Perlu diketahui bahwa remaja yang delinkuen, dalam hal ini delinkuen psikopatik mengalami mental defect. Ini kondisi di mana remaja tidak mempunyai kemampuan untuk menyadari, memahami, mengendalikan dan mengatur emosi serta perilaku mereka sendiri. 

Klitih merupakan satu dari sekian banyak fenomena kenakalan remaja yang hadir di tengah masyarakat. Tentu saja karena istilah klitih berawal dari Kota Gudeg, maka fenomena yang sedang viral saat ini pun kemudian banyak dikaitkan dengan kondisi Jogja yang sedang darurat klitih. 

Bagaimana Hukum Berbicara Mengenai Kenakalan Remaja? 

Masa remaja adalah masa individu berada di sebuah batas antara dewasa dan masa anak-anak. Di dalam UU Perlindungan Anak No. 11 Tahun 2012 jelas dinyatakan bahwa remaja termasuk dalam golongan anak-anak. 

Tepat pada pasal 1 butir 3 menyatakan bahwa, "anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana."

Hal yang menarik bila kita cermati dalam kasus klitih, bahwa kegeraman masyarakat luas mendapati fakta di lapangan yang begitu ironis. Seakan segala macam teori ilmiah tak mampu lagi menjadi tangan yang cukup panjang untuk menjangkau permasalahan ini. 

Edwin Sutherland, seorang pakar kriminologi mengungkapkan bahwa sebuah kejahatan bukanlah warisan. Kejahatan merupakan suatu tindakan yang dipelajari dari interaksi melalui proses komunikasi. 

Begitu pun dengan klitih. Mengutip dari pernyataan Soeprapto, Kriminolog Fisipol Universitas Gajah Mada dalam cnnindonesia.com aksi klitih disinyalir merupakan kejahatan jalanan yang membutuhkan perencanaan dan komunikasi panjang dalam sebuah kelompok sebelum mereka melakukan tindak pidana tersebut.

Yang masih perlu diperhatikan adalah remaja delinkuen merupakan remaja yang mengalami defisiensi moral. Yaitu suatu kondisi dimana remaja delinkuen melakukan tindakan yang dinilai jahat atau nakal tersebut tanpa mengalami gangguan intelektualitasnya. Hanya saja intelektualnya belum berfungsi. Sehingga remaja delinkuen mengalami kebekuan moral.

Peliknya problematika sosial seperti klitih melibatkan banyak faktor. Faktor keluarga, lingkungan sekitar, maupun sekolah menjadi titik tolak kematangan pertumbuhan dan perkembangan individu remaja menuju dewasa. 

Kondisi keluarga yang terpecah karena kurangnya keharmonisan memunculkan potensi bagi remaja untuk memiliki konsep diri yang negatif. Bila dibandingkan dengan remaja yang tumbuh dalam dimensi keluarga yang harmonis, maka remaja yang mempunyai konsep diri negatif rentan akan melakukan perilaku yang jahat atau nakal.

Sikap abai orangtua terhadap anak pun memicu anak untuk mencari dimensi lain sebagai ruang "bernaung" dan mengaktualisasikan dirinya.

Resistensi remaja pada peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis menunjukkan bagaimana sekolah dalam hal ini para guru dituntut untuk memberikan bimbingan seputar peraturan tersebut. Ini jelas tidak mudah. Bagaimana kita mampu menjawab pertanyaan kritis dari remaja, seperti misalnya alasan mengapa ada perintah dianjurkan atau dilarang.

Salah satu tugas sekolah adalah untuk meyakinkan remaja yang tidak mau begitu saja menerima pendapat dari orang lain. Perlu diingat, remaja adalah individu dengan kondisi fisioligis lobus frontal, bagian untuk berpikir secara rasional, belum mengalami pematangan yang sempurna.

Kurangnya pendidikan merupakan salah satu faktor pemantik individu remaja untuk bersikap apatis terhadap peraturan bahkan mencari celah untuk melakukan tindakan kriminal.

Bagaimana dengan lingkungan dalam hal ini masyarakat yang juga menyangkut pemerintah dan aparat penegak hukum? Sebagai penyandang pedang negara, masyarakat berharap setiap regulasi bukan hanya bersifat preventif, melainkan juga secara tajam mampu menunjukkan sifat represif sebagai asas legalitas hukum yang berlaku.

Kejahatan tidak semata dipengaruhi pada besar kecilnya kerugian yang ditimbulkan, tapi juga oleh kepentingan-kepentingan pribadi dalam kelompok, sehingga perbuatan tersebut dinilai merugikan masyarakat luas. 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

***

*Sumber : 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun