Usia 277 tahun, bukanlah sebuah kisah perjalanan singkat sebuah kota. Ya, 17 Februari merupakan hari di mana sebuah desa Sala berdiri di antara ribuan desa di negeri pertiwi kala itu.Â
Tidak ada perayaan semeriah "memeti budaya" seperti tahun-tahun yang lalu. Semua terasa lengang. Tanpa pawai, tanpa hingar bingar pertunjukan barongsai atau reog yang membuat anak-anak kecil mengerumuni patung Slamet Riyadi, salah satu ikon Solo. Atau pun pawai batik skala internasional. Takada. Ya, haulmu sepi kali ini, Solo.Â
Karena lengang, kaki kecil saya mencoba menapaki jalanan Sugiopranoto. Saya menelusuri kembali butiran sejarah yang masih tertinggal.Â
Sebagai kota pesisir di masa lampau Solo mencoba menghidupkan kembali sudut-sudutnya yang lama muram tergilas beragam konflik sosial dari masa ke masa.Â
Kali Pepe. Sebuah anak sungai Bengawan Solo kini banyak menjadi destinasi wisata nan instagramable. Tak percaya? Yuk ikuti perjalanan saya.Â
Tragedi Sungai Angke di Batavia pada tahun 1740-an membawa masyarakat Tionghoa berjajar antri melarikan diri.Â
Siapa yang dapat menyangka bahwa Sungai Pepe yang lebih karib dikenal dengan Kali Pepe merupakan kanal bagi penduduk etnis China di Batavia untuk lari dari pembantaian Belanda.
Tahun 1742 kapal-kapal para penduduk etnis China mulai merapat di bantaran Sungai Pepe di daerah Kartasura yang dahulu merupakan pusat pemerintahan Paku Buwono II.Â
Pada saat Sunan Paku Buwono II memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta Hadiningrat, kaum Tionghoa pun mendapat tempat tersendiri di daerah Balong dan Sudiroprajan. Yaitu area sekitar Pasar Gede.Â