Hai, Parents...Â
Wah sudah lama juga ya saya tidak menulis. Mohon maaf, real life sedikit menyita waktu saya.Â
Baiklah. Hari ini kita ngomongin dunia anak-anak yuk. Saya tertarik dengan  tulisan Kompasianer cantik, si Malaikat Anak Mba Nita Kris Noer yang bisa dibaca di sini.
Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan juga guna mendukung artikel ciamik tersebut. Â
Saya haqqul yaqhin bahwa kita sepakat jika kecerdasan anak didukung oleh perkembangan Intelligence Quotiens (IQ) dan Emotional Quotiens ( EQ) yang selaras.Â
Namun yang sering terjadi di lapangan adalah bahwa kita belum terbiasa mengolah emosi pada saat proses pengasuhan. Selain itu, tidak banyak orang tua dan guru yang mengetahui kebutuhan pada tiap tahap perkembangan kognitif siswa.Â
Tahapan tersebut penting, selain untuk mengenal edukasi apa dan bagaimana cara pembelajaran yang dapat kita terapkan secara tepat pada anak di masing-masing usia.Â
Dampak Pengasuhan yang Kurang Tepat
Banyak dari kita sebagai orang tua tidak menyadari bahwa pola asuh kita seringkali masih dipengaruhi oleh "siapa" kita saat dahulu dalam proses pengasuhan orang tua kita.Â
Sehingga pada penerapan sehari-hari banyak kita jumpai anak-anak yang sering berbantah (back talk), tidak terjalin relasi sesuai apa yang kita harapkan.Â
Kemudian muncul problematika anak mulai dari anak kesulitan belajar, kesulitan memahami angka dan bahasa, motivasi belajar anak menjadi menurun, anak cenderung dependen, merasa minder dan tertutup.Â
Ditambah lagi dengan semakin berkembangnya kasus kenakalan remaja seperti tingginya angka tawuran, seks bebas, anak terlibat dalam narkoba, miras, kebut-kebutan, dan masih banyak yang lain lagi.Â
Selain karena adanya pencarian jati diri (alasan yang seringkali mereka pakai), dalam hal ini peran orang tua dan sekolah sangat mendapat perhatian khusus.Â
Interaksi antara anak dan lingkungan sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh intensitas kelekatan yang diberikan orang tua kepada anak dalam masa pengasuhan.Â
Tidak dapat dipungkiri bahwa memang banyak orang tua yang "kebingungan" untuk memberikan edukasi yang tepat kepada anak.Â
Bukan karena abai, mungkin juga orang tua telah berusaha menyediakan waktu yang tepat untuk anak. Namun yang terjadi adalah kurang pahamnya orang tua pada perkembangan kognitif anak, sehingga edukasi yang diberikan justru tidak tepat sasaran.Â
Kecerdasan dari Sisi FisiologisÂ
Beberapa orang tua di luar sana masih menggunakan pola pikir konvensional. Mereka beranggapan bahwa edukasi hanya melulu terletak pada perkembangan IQ anak.
Sehingga suksesi anak-anak hanya diukur dalam rupa angka prestasi di sekolah atau seberapa tinggi prestasi kegiatan informal. Itu tidak salah, namun bukan sepenuhnya benar juga, parents.
Pada kenyataannya, suksesi pendidikan di negeri kita ini pun hanya berdasarkan pada angka. Prestasi seakan hanya dinilai dari sisi angka kuantitatif.Â
Sementara, emosi anak sebagai bagian dari nilai kualitatif seakan hanya pemanis rapor siswa. Pada hakekatnya, pertumbuhan dan perkembangan emosi anak tidak kalah penting untuk diperhatikan dari tingkat intelegensi mereka.Â
Howard Gardner dalam bukunya "Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligensies" menguraikan tentang 8 jenis kecerdasan anak yang mungkin belum banyak orang tua mengetahuinya.Â
Diantaranya, kecerdasan musikal, kecerdasan linguistik verbal, kecerdasan logika matematika, kecerdasan kinestetis tubuh, kecerdasan visual spasial, kecerdasan naturalis, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal.Â
Tentu saja masing-masing kecerdasan anak mempunyai keunikan tersendiri. Tidak ada jenis kecerdasan yang lebih penting atau lebih baik dari jenis yang lainnya.Â
Dari 8 jenis tersebut mempunyai cara pembelajarannya masing-masing. Anak-anak mempunyai mekanisme sendiri untuk menyerap pelajaran.Â
Menurut Gardner, bila orang tua maupun guru memahami masing-masing cara pembelajaran tersebut, maka bukan hal yang mustahil bila anak-anak mampu menyerap pelajaran dengan baik.Â
Selain memahami teknis penyampaian pelajaran sesuai dengan jenis kecerdasan anak, penting juga kita memahami perkembangan otak anak.Â
Hari ini saya mengajak pembaca untuk berselancar di bagian otak anak-anak. Yuks mari kita telusuri bersama.Â
Ada 4 bagian otak yang sangat berpengaruh pada pelajaran dan perkembangan kecerdasan anak. Akan tetapi pada artikel ini saya sengaja mengelompokkan dalam 3 bagian
#1 Lobus parietal yang mengatur dua bagian besar yaitu sentuhan dan bahasa. Maka dari itu pada tahap ini sangat penting bagi orang tua untuk memberikan anak kehangatan dalam bentuk pelukan, gendongan, atau mengajak berbicara.Â
Pada usia 0-2 tahun, selain lobus parietal, ada pula bagian otak namanya occipital lobe. Nah pada bagian ini fungsinya untuk memproses visual atau penglihatan. Pada perkembangan otak ini, sangat penting bagi anak untuk mendapatkan pengalaman di luar ruangan.Â
Atau parents bisa juga memberikan stimulan berupa menyebutkan bagian tubuh anak, menyusun balok, memasukkan mainan ke dalam tempatnya.Â
#2 Lobus temporal. Bagian ini akan mengalami proses pematangan rerata hingga anak berusia 6 tahun.Â
Berada di kedua sisi kepala yang sejajar dengan telinga, pada bagian inilah terdapat sistem limbik. Sistem limbik merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam pengaturan emosi anak.Â
Pada tahap ini, anak-anak membutuhkan tanggapan, cinta yang tulus. Dan yang tak kalah penting adalah pemahaman emosi. Izinkan anak-anak mengungkapkan emosi dengan bahasa yang dipahaminya.Â
Dengan demikian, anak-anak belajar tentang pentingnya validasi dan regulasi emosi. Bagaimana anak-anak meregulasi emosinya bila setiap emosi mereka tidak kita validasi?Â
#3 Frontal Lobe. Dari namanya saja, sudah pasti kita tahu ini otak bagian depan. Terletak di belakang dahi kita.Â
Frontal lobe merupakan bagian otak yang membutuhkan waktu paling lama untuk menjadi sempurna/dewasa.
Pada usia 3 tahun, umumnya otak anak-anak telah mencapai volume 80% dari otak orang dewasa.Â
Ada 2 tahapan pertumbuhannya. Yang pertama pada rentang usia 3-12 tahun. Bagian lobus frontal yang berkembang adalah pada kemampuan berpikir realita dan atau fakta (concrete thinking).Â
Bantuan edukasi yang dapat kita berikan adalah dengan memberikan dukungan kepada anak untuk berani menyelesaikan permasalahan, memahami sebab akibat, berhitung sederhana, dan mungkin juga dilatih bagaimana memegang pensil dengan  benar.Â
Nah, pada tahap kedua (12-22 tahun) Lobus frontal ini akan berkembang pada tahap pre frontal judgement.Â
Duh, apa lagi nih... hehehe. Don't worry be happy, parents. Kita lanjoet!Â
Pada bagian ini, anak-anak sangat ingin dilibatkan dalam perencanaan. Anak-anak perlu belajar menjabarkan tugas dalam skala besar menjadi hal yang lebih rinci.Â
Berikan pada anak pilihan. Karena pada umumnya anak-anak di usia ini sudah mempunyai kemampuan untuk memilih dengan catatan dalam kondisi tenang.Â
Perlu diingat, pada masa remaja lobus frontal yang berfungsi sebagai pengambil keputusan, kontrol, dan empati belum terbentuk sempurna. Hal ini terjadi karena  ada zat mielin belum penuh benar.Â
Nah. Demikian sedikit uraian yang mungkin bisa saya sampaikan dengan sepadat-padatnya.Â
Saya banyak berharap, kita sebagai orang tua mampu memilah edukasi mana yang tepat untuk anak-anak kita.Â
Jangan  sampai anak-anak bertumbuh dengan edukasi yang tidak tepat. Bisa jadi pendidikan yang kita berikan tidak sampai secara maksimal anak-anak.
Selamat menempuh pembelajaran bersama anak-anak, selamat belajar bersama. Sampai jumpa, parents.Â
Salam sehat, salam sadar
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H