Di tengah riuh suasana malam itu, sejenak mata saya menelaah sebuah celah. Di deretan panggung kemeriahan lampion, saya mencium aroma harum hio yang terbakar. Begitu halus menghantarkan saya pada sebuah bangunan kuno di selatan Pasar Gede.
Bangunan yang sekian ratus tahun berdiri sebagai saksi bisu pergolakan budaya yang berputar dari masa ke masa. Langkah kaki saya bertemu kembali dengan Klenteng Tien Kok Sie.Â
Meski ada yang berbeda dari tahun sebelumnya, namun Klenteng ini tetap menampakkan keagungan ritual doa para penganut Budha, Konghucu, dan Taoisme.Â
Setiap menjelang Imlek, area Sudiroprajan tepatnya di depan Klenteng Tien Kok Sie, biasanya berdiri lampion hewan shio dalam ukuran besar sesuai dengan shio pada tahun yang bersangkutan.Â
Pada saat saya mengunjungi klenteng, saya hanya mendapati beberapa pengurus yang sedang melakukan sterilisasi.
Keberadaan Klenteng Tien Kok Sie yang berdiri pada angka tahun 1745 ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tanggal 3 Mei 2013 sebagai salah satu cagar budaya Indonesia. Termasuk 10 Klenteng tertua di Indonesia.Â
Klenteng tersebut berdiri di atas tanah pemberian pihak Kraton Surakarta. Uniknya, Klenteng welas asih ini didirikan bersamaan dengan berdirinya Kraton Surakarta Hadiningrat.Â
Meskipun tidak diadakan arak-arakan pawai, tetapi warga Solo tetap tak mampu membendung hasrat memadati area lampion Sudiroprajan.