Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Reparenting: 4 Hal Penting Saat Proses Pengasuhan Inner Child

30 Januari 2022   06:05 Diperbarui: 2 April 2022   10:35 1981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo, Teman. 

Ada musim hujan kah di sana? Semoga Anda semua dalam kondisi sehat, ya? 

Satu hal yang mendorong saya menuliskan artikel ini adalah fakta mengenai kekerasan terhadap anak yang semakin hari ternyata semakin naik. 

Berdasar dari data KemenPPPA kekerasan terhadap anak semakin meningkat dalam kurun waktu tiga tahun belakang. 

Mulai tahun 2019 yang lalu, kasus terlapor sebesar 11.057 kasus. Di tahun 2020 naik menjadi 11.278 kasus. Sedangkan data yang diperoleh selama bulan Januari-September 2021 sebanyak 9.428 kasus terlapor.

Tanpa mengecilkan arti dari efektivitas jerat hukum dan kuatnya regulasi negeri ini menopang kasus kekerasan terhadap anak, saya ingin mengajak Anda kembali menilik bilik keluarga kita sendiri. 

Memindai jauh ke dalam diri sendiri. Tentang perjalanan kita menjalani proses pengasuhan anak-anak kita. 

Namun, sebelum melanjutkan artikel ini, izinkan saya membuat disclaimer. 

Bahwa artikel ini saya unggah bukan bertujuan untuk menyalahkan orangtua. Tetapi, lebih dari pada itu. Mari kita bersama-sama saling belajar untuk lebih menyayangi diri sendiri. 

Akhir-akhir ini, saya seringkali menjumpai orangtua terjebak dalam sebuah kondisi yang sulit dalam proses pengasuhan. Rasanya, habis tenaga untuk mengatasi anak yang sedang bandel. 

Serasa ingin meledak bila berhadapan dengan tantrum anak. Atau tetiba lelah dan menyerah menghadapi anak yang mager bila disuruh belajar. 

Mungkin bagi beberapa orangtua yang belum dewasa secara mental, kemudian terbiasa menghardik atau memberi hukuman bila anak sedang tantrum. 

Ada kalanya kita pun termasuk sebagai orangtua yang mempunyai trauma pengalaman tidak nyaman di masa kecil. Kemudian karena tidak ingin anak kita mengalami hal yang kita anggap tidak nyaman untuk mereka, maka kita berupaya memenuhi semua keinginan mereka. 

Tanpa sadar, kita menolak kondisi diri kita dengan mencoba memaksakan apa yang menjadi keinginan kita kepada anak. 

Contohnya, "saya tidak ingin anak saya kudet seperti saya dulu, maka saya akan memberi fasilitas apa pun pada mereka."

"Dulu, saya makan aja ga bisa rutin. Semua harus dijatah. Sekarang, saya tidak akan membiarkan anak saya tidak bisa menikmati makanan yang sedang trending."

Beberapa orangtua --mungkin kita termasuk di dalamnya-- memproyeksikan pengalaman yang tidak nyaman di masa kecil sebagai sesuatu yang negatif pada diri kita. Sehingga tanpa sadar, kita menggunakan apa yang di luar diri kita sebagai sebuah proyeksi. Tanpa terkecuali, anak-anak.

Ilustrasi: pengasuhan inner child | via beleaderly.com
Ilustrasi: pengasuhan inner child | via beleaderly.com

Okay. Now, pernahkah Anda mendengar topik reparenting? Ya, beberapa tahun terakhir ini tema yang menyangkut reparenting memang sedang santer dibincangkan. Baik di kalangan orangtua maupun di dunia kesehatan mental.

Reparenting bukan sebuah gerakan untuk menyalahkan pola asuh orangtua kita terdahulu. Namun, lebih dari itu. Ada self love, rasa welas asih yang perlu kita tengok dalam diri kecil kita. Inner child kita. 

Banyak orang yang tergesa ingin membereskan "urusan" dengan innerchild mereka yang sedang sakit. Padahal reparenting bukan hanya sekadar berurusan dengan mindfulness atau sekadar mengadakan meditasi. 

Berikut ini ada 4 hal penting yang perlu diperhatikan sebelum kita melangkah menjalani masa reparenting kita. 

1. Ini bukan seberapa besar ledakan emosi kita. Melainkan seberapa sering kita mengalami peristiwa tersebut. 

Ketika trauma masa kanak terpicu oleh stimulan, maka akan ada dua macam kemungkinan reaksi kita. Emosi kita akan meluap-luap; meledak-ledak atau kita menjadi terdiam (seakan seperti self control, tapi bukan); tak menunjukkan emosi apa pun. 

Nah, yang menjadi permasalahan, seberapa sering kemarahan, atau ketakutan, atau tetiba seperti menghindar dari peristiwa yang datang tersebut. 

2. Bahwa emosi yang kita rasakan bukan hanya dirasakan di dalam pikiran, melainkan juga terjadi di tubuh kita. Sensasi yang dirasakan oleh tubuh inilah yang seringkali kita lupakan. 

Kita sibuk untuk mengidentifikasi apa yang akan kita lakukan bila trigger tersebut hadir. Apa yang kita lakukan saat reparenting? Sementara, kita lupa bahwa ketika emosi yang kita tangkap tervalidasi pada saat yang sama pula, tubuh kita bereaksi. 

Contoh, saat sebuah kejadian memicu kita menjadi marah, maka kepala kita terasa sakit, atau tangan kita menjadi tremor, atau reaksi lain oleh tubuh kita. 

Maka sebelum kita berupaya untuk mengidentifikasi apa yang harus kita bereskan dengan diri kita, ada baiknya pula kita menyadari introception (respon kita di dalam tubuh) dan extroception (segala sesuatu dari luar diri kita, yang kita tangkap melalui indera) seharusnya berjalan selaras. 

Penting untuk menyadari bahwa bukan hanya pikiran, tetapi tubuh kita pun perlu rasa aman. Selain mengafirmasi pola pikir kita, bagus juga untuk melakukan afirmasi positif kepada tubuh kita. 

3. Konsep reparenting bukan hanya melulu menarik diri dari relasi. Melainkan tetap terhubung dengan relasi yang sehat. 

Ada yang menarik dari ujar Guru meditasi saya. Bahwa sebagai manusia yang mempunyai hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya, kita pun harus tetap terhubung dalam masa pemulihan luka innerchild kita atau Adverse Childhood Experience (ACE). 

Tetap terhubung dengan teman, dengan komunitas, dan bukan malah mengisolasi diri. Bukan menarik diri dari relasi sehat di sekitar kita. So, tetap terhubung ya... 

4. Bahwa apa yang kita rasakan, emosi kita adalah valid. Tetapi kita harus berhati-hati dengan pikiran kita. Karena belum tentu pikiran kita adalah benar. Bagi teman-teman penyintas trauma dan depresi, pikiran terkadang lebih tricky, lebih menipu dari pembohong ulung mana pun. 

Pada dasarnya, reparenting bukan hanya bertujuan supaya kita dapat memperbaiki diri dalam rangka mengoptimalkan proses pengasuhan anak-anak kita. Reparenting secara luas merupakan cara, upaya kita mengasuh diri kecil yang ada dalam diri kita. 

Demikianlah 4 hal penting yang saya rasa perlu untuk diketahui oleh kita yang masih terus berproses berdamai dengan inner child kita. Mari sayangi diri kita, sayangi anak-anak kita. 

Semoga bermanfaat, selamat berproses untuk berwelas asih dengan diri kita. Mari bersama belajar seumur hidup kita. Selamat menyayangi diri kita. 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

Sumber: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun