Berikut ini ada 4 hal penting yang perlu diperhatikan sebelum kita melangkah menjalani masa reparenting kita.Â
1. Ini bukan seberapa besar ledakan emosi kita. Melainkan seberapa sering kita mengalami peristiwa tersebut.Â
Ketika trauma masa kanak terpicu oleh stimulan, maka akan ada dua macam kemungkinan reaksi kita. Emosi kita akan meluap-luap; meledak-ledak atau kita menjadi terdiam (seakan seperti self control, tapi bukan); tak menunjukkan emosi apa pun.Â
Nah, yang menjadi permasalahan, seberapa sering kemarahan, atau ketakutan, atau tetiba seperti menghindar dari peristiwa yang datang tersebut.Â
2. Bahwa emosi yang kita rasakan bukan hanya dirasakan di dalam pikiran, melainkan juga terjadi di tubuh kita. Sensasi yang dirasakan oleh tubuh inilah yang seringkali kita lupakan.Â
Kita sibuk untuk mengidentifikasi apa yang akan kita lakukan bila trigger tersebut hadir. Apa yang kita lakukan saat reparenting? Sementara, kita lupa bahwa ketika emosi yang kita tangkap tervalidasi pada saat yang sama pula, tubuh kita bereaksi.Â
Contoh, saat sebuah kejadian memicu kita menjadi marah, maka kepala kita terasa sakit, atau tangan kita menjadi tremor, atau reaksi lain oleh tubuh kita.Â
Maka sebelum kita berupaya untuk mengidentifikasi apa yang harus kita bereskan dengan diri kita, ada baiknya pula kita menyadari introception (respon kita di dalam tubuh) dan extroception (segala sesuatu dari luar diri kita, yang kita tangkap melalui indera) seharusnya berjalan selaras.Â
Penting untuk menyadari bahwa bukan hanya pikiran, tetapi tubuh kita pun perlu rasa aman. Selain mengafirmasi pola pikir kita, bagus juga untuk melakukan afirmasi positif kepada tubuh kita.Â
3. Konsep reparenting bukan hanya melulu menarik diri dari relasi. Melainkan tetap terhubung dengan relasi yang sehat.Â
Ada yang menarik dari ujar Guru meditasi saya. Bahwa sebagai manusia yang mempunyai hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya, kita pun harus tetap terhubung dalam masa pemulihan luka innerchild kita atau Adverse Childhood Experience (ACE).Â