Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Edukasi Seks: Berikut Ini 4 Cara Memberi Edukasi Seks ala Milenial

16 Desember 2021   05:05 Diperbarui: 3 April 2022   21:07 1850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Masak dia itu sudah terlalu banyak nonton yang porno-porno, gitu lho Miss, saya sudah marahin dia. Tapi duuuh, malah jadinya saya stres sendiri. Anaknya tuh ngeyel trus sekarang suka bohong."

Ya, begitulah salah satu keluhan yang mampir di meja saya siang itu. Keluhan seorang ibu yang merasa prihatin pada kondisi anak remajanya yang kini menginjak usia 15 tahun. 

Ia bercerita tentang betapa  si buah hati yang baru ranum-ranumnya itu. Kesah ibu tersebut hanya satu dari sekian banyak rentetan kasus kebingungan orang tua untuk mendidik anak-anak remajanya. 

Maraknya kasus pelecehan seksual dan atau perkosaan pada anak-anak memunculkan satu fenomena tersendiri di masyarakat. Kembali, dunia parenting menjadi sorotan publik. 

Baca juga : 3 Cara yang Dilakukan Orang Tua untuk Mencegah "Sexual Abuse" pada Anak

Tiga sokoguru pendidikan mendapat highlight khusus atas kasus tersebut. Bagaimana sebuah stigma sosial yang menempel sebagai paradigma masyarakat tentang pendidikan seks mulai bergeser. 

Apakah budaya akan bergeser? Let us see... 

Kerentanan anak-anak jatuh dalam dunia seks bebas selama ini menjadi kekuatiran semua pihak. Tentu saja, Anda dan saya pun ikut terlibat dalam keresahan sosial ini. 

Paradigma inilah yang kemudian memunculkan stigmatisasi di masyarakat bahwa seks itu tabu untuk dibincangkan. 

Misalkan saja, membicarakan seks kepada anak berusia 9-10 tahun adalah hal yang dianggap tabu. Akan muncul pemikiran seperti,'Mereka tahu apa? Jejangan, nanti mereka malah berpikir yang salah, lalu melakukan seks bebas, lalu begini, lalu begitu... 

Bukankah pola pikir yang semacam itulah yang seringkali nangkring dalam benak orang tua selama ini? 

Komunikasi dan keintiman hubungan personal antara anak dan orangtua kemudian menjadi persoalan mendasar yang ramai dibincangkan di marketplace. 

Okay tak usah banyak retorika ga jelas, hehehehe... Bikin bosyen, kan? 

Orang tua milenial menyadari kebutuhan buah hati mereka akan sex education. Iya. Okay. Tetapi pertanyaannya, mulai sejak usia berapakah pendidikan seks boleh kita mulai? 

Lantas, bagaimana cara membincangkan seks secara aman dan nyaman kepada anak-anak? 

Next, bagaimana memulai pembicaraan tersebut? Topik seks apa saja yang seharusnya kita bagikan kepada anak kita? 

Pertanyaan seputar itulah yang pada umumnya menggantung di benak orangtua milenial. Dan itu wajar, karena kaum milenial tidak menerima warisan itu dari generasi sebelumnya, bukan? 

Weleh, okay dah kalo begitu yuks mari kita bahas dengan singkat kepelikan ini. Singkat aja yha... 

Mulai Umur Berapa Kita Kenalkan Anak Tentang Seks? 

Ada beberapa tahapan usia yang sudah seharusnya menjadi perhatian kita dalam mengenal seorang anak. 

Memang belum ada satu garis tegas bentang usia anak menerima edukasi seks. Namun, ada masa perkembangan kognitif anak yang dapat dijadikan acuan dalam memperkirakan usia anak menerima edukasi seks. So, let's cekidot... 

Usia 0-2 tahun. Di usia ini, seorang anak membutuhkan sentuhan. Bagaimana kita memeluk, mencium, menggendong anak akan sangat berpengaruh bagi perkembangan bayi. 

Usia 2-4 tahun. Anak dalam rentang usia ini akan belajar mengenal bagian-bagian tubuhnya. Bahkan pada usia kurleb 3-5 tahun, beberapa anak akan lebih sering memegangi alat kelaminnya. 

Jangan takut, Ayah, Bunda. Apa bila perilaku tersebut dilakukan anak, bukan berarti disertai dengan orientasi seksual dalam pikirannya. Fase ini disebut fase phalic. Next time kita belajar fase ini yha... 

Usia 4-6 tahun. Pada tahap usia ini, anak biasanya mulai menginjak usia awal sekolah. Di usia ini pulalah anak mulai belajar bersosialisasi. Anak akan belajar membedakan bagian-bagian tubuhnya sendiri dengan bagian-bagian tubuh teman bermainnya. 

Nah, karena perkembangan otak anak masih menggunakan imajinasi, biasanya anak akan berfantasi. Anak mungkin akan mulai bertanya dari mana asal bayi? 

Usia 7-10 tahun. Nagh... Di rentang usia inilah kita sebagai orang tua harus waspada. Well, tentu saja tanpa mengurangi tingkat kewaspadaan kita pada rentang usia yang lain, kawan. 

Yang tak luput dari perhatian adalah ketika anak berusia 9-10 tahun. Masa praremaja inilah yang menjadi usia krusial dimana anak mulai menyukai lawan jenis. 

Jangan heran bila anak kita akan mengalami jatuh cinta pada masa ini. Tetapi, di tahap ini anak masih mengutamakan persahabatan. 

Usia 10-12 tahun. Pada rentang usia 10-12 tahun, anak disebut sebagai anak usia pubertas. Di batas usia ini anak akan mengalami kebingungan. Ini dikarenakan adanya tugas remaja untuk menemukan jati dirinya. 

Di masa ini, remaja mulai mengeksplorasi rasa ingin tahunya. Mereka sangat tertarik pada tampilan visual yang menampilkan seksualitas. Anak-anak pada usia ini mulai jatuh cinta, mulai mengenal ciuman, dan saling bersentuhan. 

Usia 13-15 tahun. Hmmm, secara fisik pada usia ini anak-anak mulai mengenal perubahan biologis. Anak-anak mulai berani untuk menggoda, melancarkan rayuan, bahkan melakukan kontak fisik (dalam sebuah relasi pacaran). 

Sebaiknya, anak-anak belajar untuk menghargai, menghormati, dan belajar batasan dan peraturan atau norma yang berlaku. 

Olrait, itulah sedikit gambaran tentang kebutuhan pembelajaran anak pada setiap fasenya. Sudah mantaft? 

Lanjuuut, Saudara.... 

Lalu, Informasi Tentang Seks yang Mana Saja yang Tepat? 

Berikutnya menyoal informasi apa yang sebaiknya kita berikan pada saat kita memperbincangkan seksualitas kepada anak-anak. 

Ya, seperti kita tahu di atas, betapa setiap rentang usia akan menunjukkan cara pembelajaran yang berbeda antara satu tahap dengan yang lain. Kita tidak bisa sembarangan memberikan informasi kepada anak sebelum ia membutuhkan informasi tersebut. 

Dan tentu saja, tidak semua informasi tentang seks dapat kita berikan kepada anak-anak. 

Ini ada sedikit saran, yang mungkin saja dapat bermanfaat bagi edukasi seks kepada anak. 

1. Ada baiknya kita memperkenalkan organ tubuh kepada anak dengan menggunakan bahasa ilmiah atau bahasa baku. Maksud saya, anak-anak perlu dan berhak mengenal nama-nama organ intim. Misalnya, sebut saja payudara, penis, rahim, vagina. Jangan menggunakan istilah lain, misal nenen atau yang lainnya. 

Mengapa ini perlu dilakukan? Supaya kita menghilangkan stigma yang selama ini beredar di masyarakat bahwa pendidikan seks itu adalah tabu. 

2. Katakan pada anak-anak tentang batasan-batasan bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang lain. Atau bagian mana yang boleh disentuh oleh Ayah atau Bundanya saja. 

Bagian intim organ tubuh seperti pantat, payudara, penis, dada, maupun bagian organ intim yang lain. 

3. Ada baiknya pula kita memperkenalkan kepada anak tentang konsep gender. Tentu dengan bahasa yang sederhana. 

Misalnya, "Adek kan cewek, nanti bila besar akan seperti Bunda. Kalau kaka kan cowok, kalau besar nanti juga bakal seperti Ayah."

4. Buat sebuah percakapan yang sederhana, ringan, dan menarik, supaya apa yang kita sampaikan sebagai sebuah informasi akan lebih membuat anak menjadi terbuka. Keterbukaan anak inilah yang menjadikan kita sahabatnya. 

Dengan komunikasi yang terbuka ini pula diharapkan anak akan menimba ilmu dari kita, karena mereka percaya pada kita. Tujuan lainnya, supaya kita dapat memantau bila ada perubahan yang berbeda pada masa pertumbuhan anak-anak kita. 

Hmmmm... udah panjang niih. Apabila ada yang ingin menambahkan informasi berkaitan dengan apa yang ada dalam artikel ini, silakeun tulis di kolom komentar yha. Supaya kita saling belajar. 

Selamat menyelami dunia pendidikan seks dengan anak-anak. Kalau bukan mulai dari kita, lantas siapa lagi yang akan memulai. 

Seks bukan hal yang tabu. Pendidikan seks bukan pintu untuk seks bebas. 

Let's break up the stigma!! 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

*Sumber: 

Guideline for Comprehensive Sexuality Education. 2004. The Sexuality Information and Education Council of United States

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun