Kumaki ia di ladang. Aku tidak peduli apakah ia lelaki dihormati banyak orang atau hanya seorang biasa tanpa kehormatan sama seperti kita. Seperti orang gila, aku pandai berkata-kata. Layaknya Durga yang sedang marah, kucaci kebodohan lelaki itu.
Kudera ia dengan  lema-lema yang dituturkan oleh Mamak, guru perempuan kita. Kuhujani lelaki itu dengan ujaran panah Srikandi, seperti yang diceritakan Bapak. Usai kujejali lelaki itu, aku pergi.Â
Ah, suratku kali ini panjang, Abang....
Abangku, yang tiada usai kuhormati selagi kusayangi.
Aku menulis surat ini di waktu malam telah merasuki hari. Di saat aku ingin merebahkan diri, aku ingat kejadian siang tadi.
Kelewat bataskah aku memaki lelaki bebal itu? Namun belum usai aku teperdaya oleh rasa bersalahku, seakan naluri mengenyahkan risau di atas bantal.Â
Kicau si burung biru bercuitan di dermaga peraduanku. Membawa sebuah nama seorang puan. Kueja namanya. Puan yang penuh derita.
Perempuan yang memenulis begitu rapi dan indah. Tulisan yang begitu perih namun tetap bersahaja.
Perempuan yang menderita seperti kisah Marsinah. Terjebak dalam situasi roda sistem hukum di negara asing yang kini kutumpangi. Negri ini tak punya sistem hukum yang mampu menjamah derita kaum perempuan, Abangku.
Kaum yang katanya lemah. Kaum yang katanya hanya bisa mengalah. Kaum yang disamarkan pada persamaan hak. Negri yang kutinggali ini benar-benar mandul empati pada perempuan.
Sistem hanya berpihak pada mereka yang berada pada institusi kaum berada.