Surat untuk Abangku,
Abang, aku mengirimkan surat ini bersama dengan resah yang ada dalam batin. Rasa sesak begitu menggelora, meremukkan semua tulang yang menyangga tubuhku.
Abang yang sekian ribu hari pernah melindungiku, aku tahu, di kota yang rusak ini aku harus bertahan sendiri. Adikmu ini berpikir, sekiranya aku mampu menengarai setiap lini badai yang hampir tiada tuntas.
Setiap pagi menjelang, aku mencoba mengucap syukur. Sama seperti pesanmu yang kukutip lurus dalam batinku. Meskipun seakan rasa syukur ada di bawah himpitan fakta. Dimana berita datang membawa keburaman yang muram.
Pada pagi hari berita berkunjung membawa sekeranjang perih dari seorang gadis SD 12 tahun yang selesai ditindih lelaki tua.
Lalu perut si gadis mulai membesar, Abang.
Kami pikir itu ulah siapa? Ternyata si gadis dipaksa hamil usai seorang kakek tua menodongnya dengan senapan. Untuk membuat gadis ini jera. Agar mulut kecilnya tak bersuara; mengadu pada orang tuanya. Hingga pada akhirnya si gadis kecil terpaksa hamil.Â
Gadis itu khatam luka. Rasa sakit dan ketakutan merobek batin, seketika kalau auratnya telah ternoda.
Bukankah Abang tahu terusan cerita ini? Aku telah menuliskannya di surat ku yang dulu.
Ya, hingga saat ini gadis itu selalu menjerit kesakitan. Batinnya yang sakit, Abang. Setiap malam meraung, menangis, dan begitulah. Ya, dunia mulai memaksanya menerima semua dengan ikhlas. Lahir dan batin.