Hmmm, itu ingatanku. Ya, ingatan tentangmu. Tentang raga yang kubawa pergi pada malam tanpa hujan. Membelah jalanan Pontianak. Menebas dingin malam Singkawang, kau mendekapku erat.Â
Kadang kita terbahak, menyeduh peristiwa lucu tak penting antara kita berdua. Malam itu.Â
Aku ingat, saat itu kau berkata, "Bukankah kita pergi jauh supaya kita bisa pulang?" Ya, saat ini aku memahaminya. Pulang. Reruntuhan kata yang tak ingin kulupakan.Â
Kau memang tak begitu cantik. Anehnya, kita sepakati berdua tentang hal itu. Hidungmu yang tidak mancung, tidak juga pesek. Juga rambutmu tidak seindah model iklan shampo.Â
Kau pun bukan gadis yang langsing, dengan tinggi badan ideal. Tapi, kau juga tidak gendut. Hanya saja, bola matamu indah. Terlebih saat merekam bayanganku di dalamnya. Oh, betapa narsisnya aku.Â
Hhh, sudahlah. Seharian ini kita hanya duduk berdua di taman kota. Mungkin kita harus pulang, Sinar.Â
Malam ini jelang lelap, aku melihatmu terbaring mendekap sebuah foto lawas. Aku mengenalnya. Aku mengingatnya. Gambar kita berdua.Â
Setetes lembut air hangat mengalir dari bola mata indahmu. Bola mata yang kini tak mampu lagi merekam bayangku di dalamnya. Bukan karena kau buta, Sinar.Â
Lamat kudengar bisikmu, "Buku baruku telah terbit. Buku tentang kisah kita. Tentang kau dan aku. Kau ingat? Apakah kau dengar? Kita. Kisah kita."
Oh, sungguh, maafkan aku, Sinar. Maafkan aku yang bahkan tak mampu lagi merengkuh ragamu. Kini semesta kita berbeda. Dunia kita tak lagi sama.Â
*Solo, .... bersama sebuah rasa. Pulang. (Saya dedikasikan cerpen ini untuk seluruh fiksianer Kompasiana. Let the flame will always keep us warm.)Â