Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ulang Tahun Kompasiana: Mendulang Mimpi Berbalutkan Persahabatan

24 Oktober 2021   20:01 Diperbarui: 24 Oktober 2021   21:58 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: persahabatan | dokumentasi pribadi

Bulan Oktober memang saya maknai berbeda dari bulan yang lain. Istimewa? Tentu saja. 

Bulan ini merupakan bulan kesehatan mental. Sebagai satu dari jutaaan orang yang peduli dengan pertumbuhan dan perkembangan kesehatan mental tentu saja, saya sangat menyambut bulan ini dengan merayakannya melalui beragam cara. 

Selain itu, di tahun inilah saya kembali merasakan sentuhan sahabat menjalari naluri saya. Bagai sinar mentari di musim gugur. Hangat, meski angin kencang menerpa. 

Pasca meninggalnya Mami, saya benar-benar berada di sebuah masa "gelap". Menerima sebuah kehilangan bukan hal yang mudah. Terlebih terpisah dari pribadi yang sempat begitu mesra. Rest in love, Mom... 

"Bang, hari ini ulang tahunku," dengan gemetar saya menuliskan pesan itu pada Bang Jack. 

Tentu saja. Setelah 4 tahun Mami meninggal, saya tidak ingin seorang pun mengucapkannya. Akan menimbun rasa pahit tatkala harus memutar memori. Saat tangan Mami tertumpang di atas kepala, memberkati dengan doanya di setiap hari lahir saya. Akan hadir kembali rasa mesra yang hilang itu. 

Tahun ini, dengan segala keberanian yang muncul begitu saja akhirnya pintu self esteem yang telah saya lama saya tutup, saya buka kembali. 

Dan dengan segera membludaklah pesan singkat dari kawan maya yang terekam sebagai saudara dalam benak saya. 

Dijembatani percik algoritma, segala doa terbaik yang dulu hanya diurai oleh Mami saya, kini mewujud dari setiap ujar kawan-kawan WAG di gang yang dipenuhi oleh pribadi-pribadi kentir nan bersahaja. Well, awal bulan yang memesona.

Belum pudar dopamin, oksitosin dan serotonin bekerja awut-awutan dalam cortex, hadir pula sentuhan puisi dari 3 sahabat saya, Bang Jack, Ari Budiyanti, dan Mas Han (terima kasih saya tiada berhingga). 

Ahay!! Ternyata bukan saya saja yang mendulang sahaja bahagia. Ternyata, sahabat yang saya kenal di Kompasiana selama dua tahun pun mengangkat pintu gerbang ketuaannya di bulan ini. Ya, tambah tua ya, Bang Jack. Semoga semakin mahir berenang di Khey. 

Dan,... 22 Oktober, tempat impian menulis saya bernaung, perpanjangan tangan Tuhan untuk saya menuangkan ide, juga mengangkat gelas, merayakan ulang tahunnya yang ke-13. Berjayalah Kompasiana. (Khey, kau membuatku kembali mampu menuangkan rasa percaya pada diriku sendiri. Many thanks and love you). 

Di ruang inilah saya mengumpulkan nyali kecil sebagai seorang warga biasa tanpa pengetahuan jurnalistik dan kemampuan gramatikal yang hanya grotal gratul, mencoba untuk menyelipkan diri saya. 

Demi eksistensikah? Wah, Om Emile Durkheim pasti akan sangat bangga bila menemukan saya mengiyakan teori eksistensinya. Terlebih, Om Abraham Maslow sudah barang  tentu tertidur lega--tanpa rasa insecure--bila kebutuhan eksistensi saya terpenuhi. 

To turn noises to be an angelic voice might need a big effort. (itu menurut saya).

Ya, saya mengakui ada begitu banyak artikel saya yang nyleneh. Aeng, itu kalau Ohm "Wendo" Arswendo bilang. Tapi, saya senang bercerita tentang semua yang saya pelajari dalam perjalanan waktu hidup saya. 

Sebagai seorang backpacker, bukan peristiwa aneh bila dalam perjalanan ke sebuah destinasi tertentu, saya lebih gandrung pada lini perjalanan daripada tujuan perjalanan itu sendiri. 

Saya menikmati sentuhan humanis saat seseorang menawarkan tempat berteduh ketika tubuh ini kuyup kena hujan. Secangkir teh hangat yang diseduh pemilik rumah serasa teh camomile di restoran yang belum pernah saya sentuh. 

Percakapan yang meluruh dari kenek bus antar kota seringkali mengaktifkan kembali lobus pre frontal cortex saya untuk belajar tentang kehidupan. 

Berbekal memori berharga bikinan Sang Kuasa, jemari saya berusaha menuntun keyboard HP memercikkan aksara ke dinding Kompasiana. 

Meniti waktu dari hari ke hari yang emejing ini, saya baru mengetahui, betapa nafas kekerabatan, santun  kata, tangis, tawa, semua terlibat di bulan ke sepuluh kalender Gregorian.  

Persahabatan. Satu kata yang selalu membuat saya terkagum. Satu varian relasi yang sangat saya kagumi kekuatannya. 

Melintasi jenis kelamin, usia, dinding-dinding ruang penyekat, melenyapkan hierarki profesi maupun gelar keilmuan formal, melewati pagar adat dan budaya, bahkan mungkin mendobrak norma. 

Untuk batasan terakhir... sila nilai sendiri. 

Perkenankan saya membuat ilustrasi sebuah rumah untuk menjelaskan makna relasi. Ya, membangun relasi laksana mengelola rumah jiwa kita sendiri. 

Persahabatan ibarat kita membawa orang lain masuk ke dalam ruang makan. Bukankah sebelum ruang makan ada gerbang, serambi depan, dan ruang tamu? Masakan kita akan  membawa sembarang orang untuk memasuki rumah kita? Tentu saja kita akan membuat filter dengan standar kita masing-masing, bukan? 

Apa yang pada umumnya terjadi di ruang makan? Ruang makan, tempat kita berbagi rasa. Perbincangan yang terjadi di sana mengutamakan rasa. Aroma kekeluargaan terjalin kuat di ruang tersebut. Lebih dari sekadar formalitas. 

Saya belajar arti komitmen dalam persahabatan. 

Bukan hanya dalam tataran pernikahan saja dibutuhkan rasa saling percaya. Ternyata, dalam segala ragam relasi yang dalam, dibutuhkan rasa saling percaya. 

Sebuah santun malam, saya menyambangi akun Instagram milik kawan lama. Sahabat saya dari semenjak kami berkuliah dahulu. 

Een, begitulah nama unik yang saya berikan bagi pribadi hebat yang kini bertempat tinggal di bagian barat pulau dewata. Malam itu di tengah chit chat kami berdua, ada yang ia bagikan. 

"Tetapkan sebuah komitmen dalam berelasi," begitu ujarnya tatkala saya bertanya bagaimana menjaga rasa saling percaya. 

Apakah komitmen hanya berlaku dalam relasi pernikahan? Tentu tidak! 

Saya belajar bahwa memang tidak gampang untuk tetap tinggal dalam sebuah komitmen. Adakalanya, saya berada dalam titik jenuh. 

Komitmen adalah salah satu pegangan supaya saya tetap melangkah. Mimpi mendatangkan harapan, tetapi komitmen menuntun kita melangkah menuju terwujudnya harapan. 

Ada satu quotes menarik dari ayah seorang Luciano Pavarotti, ya... tenor ternama seantero jagat. Kata-kata ini hadir ketika Luciano Pavarotti bingung harus memilih antara belajar bernyanyi atau meneruskan studinya untuk mengajar sebagai guru. 

“Luciano, if you try to sit on two chairs, you will fall between them. For life, you must choose one chair.

Komitmen menjagai kita untuk tetap berada di dalam jalur kita. 

 Saat pena saya lelah untuk menulis artikel mental health, komitmen inilah yang menjagai langkah saya untuk mencoba meneruskan mimpi saya. 

Semangat menumbuhkan motivasi. Dalam persahabatan, saya menemukan aliran hangat semangat saat saya berada dalam masa "gelap" hidup saya. 

Karakter introvert ditambah dengan ketidakmampuan saya meregulasi emosi menyebabkan saya semakin menutup diri. Tetapi, Tuhan begitu baik. Lewat sapa dan ujar sahabat, saya menemukan kembali titik nyali yang terkadang hampir padam. 

Terima kasih untuk semua sahabat, Anda semua telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk saya. Setiap Anda begitu unik dihadirkan dalam hidup saya. 

Meski kita terhubung dalam dunia maya. Saya yakin, di balik setiap tulisan teman-teman ada pribadi-pribadi luar biasa yang mempunyai kekuatan untuk mengguncang dunia. 

Dengan cara yang berbeda, dengan pena dan kuota data, mungkin tulisan sederhana kita mampu memberikan cahaya bagi dunia. 

"To turn noise to be voice." Mengubah kebisingan menjadi sebuah suara yang layak didengarkan. 

Salam persahabatan, 

penulis

#OpiniBermakna

#13thKompasiana

Ps. Untuk yang selalu ada buat saya, aku padamu juga...terima kasih untuk kesabarannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun