Hari yang cerah di bulan Oktober tahun ini. Ya, bulan ini begitu istimewa untuk saya. Ingin tahu?Â
Yap betul. Ini adalah bulan Kesehatan Mental Sedunia. Untuk tahun ini WHO menetapkan sebuah tema yang cukup istimewa. "Mental Health for All: Let's Make It a Reality".
Tema yang indah bukan? Yuk kita intip sebentar, sebelum kita masuk ke bahasan istimewa kita hari ini.Â
Saya ingin membagikan beberapa fakta yang mendasari tema tersebut. Betapa masa pandemi yang berlangsung telah memberikan beban mental mendalam bagi masyarakat dunia secara keseluruhan.
- Hampir satu juta penduduk dunia mengalami gangguan mental.Â
- Satu dari tujuh anak remaja awal (10-19 tahun) mengalami gangguan mental dan rerata bermula di usia 14 tahun. Sebagian besar tak terdeteksi dan terabaikan.Â
- Depresi merupakan penyebab utama meningkatnya disabilitas dan merupakan beban mental terbesar akibat wabah covid-19. Secara global, diperkirakan 5â„… orang dewasa menderita akibat depresi.Â
- Bagaimana dengan bunuh diri? Setiap 100 kematian, terdapat 1 kasus bunuh diri. Bunuh diri termasuk dalam peringkat empat penyebab kematian remaja usia 15-29 tahun.
Baca juga: Suicidal Thought: Ternyata Bunuh Diri Bukanlah Solusi
Nah, bagaimana dengan kondisi kesehatan mental di Indonesia?
Mengusung data dari Kemenkes RI, 20% penduduk Indonesia memiliki potensi masalah gangguan jiwa. Padahal, jumlah tenaga kesehatan jiwa profesional yang ada di Indonesia hanya berjumlah 1.053 orang. Artinya, setiap 1 orang tenaga kesehatan harus menangani kurang lebih 250.000 orang.Â
Masalah lainnya, kesehatan jiwa di negara tercinta ini sering tersandung stigma masyarakat kepada ODGJ, orang dengan gangguan jiwa.Â
Seperti halnya kasus-kasus schizophrenia. Masyarakat mencari solusi tergampang, dengan mengurung atau tindakan kekerasan lain pada penyintas, sehingga berakibat disabilitas pada korban.Â
Berdasarkan Sistem Registrasi Sampel oleh Badan Litbangkes tahun 2016, data yang didapati 1.800 kasus bunuh diri per tahun. Bila kita rerata, setiap hari ada 5 orang meninggal karena bunuh diri.Â
Yang memprihatinkan adalah 47, 7 % bunuh diri tersebut dilakukan oleh remaja dan usia produktif (10-39 tahun). Prosentase angka yang cukup besar, bukan? Terutama masalah depresi pada remaja.Â
Coba perhatikan data dari Riskesdas 2018 ini. Dilaporkan bahwa 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.Â
Sebagai seseorang yang memiliki aktivitas yang sering bersentuhan dengan remaja, tentu saja ini menjadi perhatian tersendiri bagi saya.Â
Terlebih, melihat begitu berat beban mental yang harus ditanggung oleh masyarakat di kala sibuk menekan penyebaran wabah covid-19. Terciptanya jarak, adaptasi kebiasaan baru, dan meminimalisir kontak langsung dengan sesama.Â
Konflik antar orang tua seringkali menjadi alasan bagi anak-anak remaja dalam masa pencarian jati diri mereka. Terlebih beban yang harus mereka tanggung di kala pandemi membuat mereka semakin limbung dalam memenuhi tugas psikologis mereka.Â
Beberapa tekanan lain, seperti pembatasan jarak, renggangnya skin to skin dengan teman sebaya selama pandemi, dan ketergantungan terhadap gadget membuat mereka mengalami mental breakdown.Â
Seperti seorang anak remaja 18 tahun yang tetiba meminta waktu untuk bercerita tentang mami dan papinya. Saat anak ini sedang menjalani isolasi mandiri, ia seringkali mendapati orang tuanya bertengkar. Bagaimana ia harus melawan covid sekaligus mengelola stres saat KDRT terjadi pada maminya.Â
Itu hanya salah satu dari sekian banyak beban masyarakat di masa pandemi. Belum lagi prokastinasi beberapa rekan yang saya jumpai.Â
Ya, bukan karena mereka malas. Toh generasi kekinian --meski diberi label anak rebahan-- bahkan lebih memilih menunda self gratification. Ada beban tersendiri dari tugas yang diterima, sehingga mereka terkesan menunda pekerjaan dan tugas mereka.Â
Masalah lain yang tak kalah penting adalah masih kentalnya stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).Â
Problem klasik perkembangan mental health yang satu ini patut mendapat perhatian tersendiri.Â
Stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa antara lain:
1. Masyarakat Indonesia masih mempercayai gangguan kesehatan jiwa berasal dari faktor supranatural atau hal yang tidak rasional. Seperti halnya schizophrenia disebabkan oleh sihir, kerasukan setan, melanggar larangan (mitos). Sehingga masyarakat memilih bantuan non medis untuk penyembuhannya.Â
2. Stigma berupa label negatif yang ditempelkan pada ODGJ membuat pasien dan keluarga menanggung malu. Para ODGJ mengalami stigmatisasi masyarakat sehingga mereka rentan mengalami kekerasan.Â
Sebuah studi menyatakan bahwa ODGJ lebih rentan mengalami tindakan kekerasan dibandingkan sebagai pelaku kekerasan. Yang memprihatinkan adalah, tindakan kekerasan ini jamak terjadi di lingkungan keluarga mereka sendiri.Â
So, please..... let's break up the stigma.
Bagaimana Bila Kita Adalah Orang Terdekat Mereka?Â
Bila kita berada bersama seseorang yang mengalami depresi, mari bantu mereka. Mari peduli dengan mendengarkan mereka tanpa memberikan justifikasi.Â
Dukung mereka untuk sembuh. Ingat, depresi bukan stres. Depresi adalah gangguan mental yang membutuhkan bantuan tenaga ahli profesional. Bagi kita yang bukan tenaga profesional, mari dorong mereka untuk menemui ahli profesional.Â
Remember : When you live with someone with depression, you can help them recover, but it's important to look after yourself too (WHO)Â
Buat teman-teman yang merasa sedang berada dalam tekanan depresi, mari segera keluar, mencari bantuan di sekelilingmu. Atau, segera temui ahli profesional.
Saya mengerti kita tidak selalu berada dalam lingkungan yang mendukung atau orang yang peduli dengan ketidaknyamanan kita. Akan tetapi, mari peduli dan sayangi diri kita. Paling tidak, menemui tenaga profesional agar kita dapat merasa nyaman menjalani kehidupan sehari-hari.
Saya akan menutup artikel ini dengan satu cerita yang pernah saya bagikan dalam artikel saya yang lalu. Masih ingat kasus Rebo yang saya bagikan dalam artikel saya di bawah ini.Â
Baca juga: Depresi Remaja, Kegelisahan Kita BersamaÂ
Sehari sebelum saya menulis artikel ini, saya bertemu dengan Rebo, seusai hampir dua bulan dia harus menjalani terapi rawat inap.Â
Mungkin Anda tidak akan pernah mengira betapa serotonin, oksitosin, dan dopamin mengalir sebagai sebuah rasa bahagia. Pada akhirnya, saya bisa memeluknya lagi, kami bisa tertawa dan berbagi cerita tentang keluarganya.Â
Saya tahu, dia masih harus rutin mengunjungi dokter terapisnya. Tetapi, setidaknya ia sudah mendapatkan rasa nyaman untuk menjalani hidupnya.Â
Pekerjaan negara ini untuk menyelenggarakan kebutuhan masyarakat memang belum tuntas. Bahkan serba terbatas.Â
Namun, dengan tangan kita yang meski hanya kecil dan empati yang tidak terlihat, saya yakin bersama kita pasti dapat menjadikan harapan menjadi nyata.Â
Sebagaimana problem temuan kasus covid-19 dikabarkan meningkat, ya, itulah ketidakpastian. Bukan untuk mengecilkan arti informasi tersebut. Namun, masih ada yang bisa kita lakukan. Mari kita kerjakan apa yang bisa kita kerjakan.Â
Tetap menjaga prokes, tetap saling terhubung, tetap saling mendukung....Â
Salam sehat jiwa,Â
Penulis
#WorldMentalHealthDay
#HariKesehatanDunia
*Sumber:Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H